Napak Tilas 10 Tahun Timor Leste Merdeka

Bagaimana kondisi Timor Leste setelah 10 tahun lepas dari NKRI saat ini? Penulis berkesempatan mengunjungi negeri Xanana Gusmao pada tahun baru 2013 lalu

Kisah Pengajar Muda Muara Enim : Setahun untuk Selamanya

Pengalamanku sebagai guru bantu di pelosok Muara Enim merupakan pelajaran berharga bagi saya. Saya akan membagi kehebatan anak-anak di Talang Tebat Rawas ini yang begitu menginspirasi saya sebagai seorang guru

Menjelajahi Ujung Selatan Indonesia, Pulau Rote Ndao dan Pulau Ndana

Pulau Rote Ndao menyimpan kekayaan alam dan budaya yang sangat potensial. pantai-pantai indah yang belum terjamah oleh manusia beserta keunikan geografis pulau rote ndao menjadi daya tarik tersendiri. Simak berbagai pengalaman saya dan tim Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia tahun 2010 di Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.

Miangas : Eksotika Pulau Paling Utara Indonesia

Pulau miangas yang berada di garda terdepan Indonesia berbatasan dengan Filipina menyimpan pesona keindahan yang layak untuk dinikmati. Berikut kisah kami tim Kuliah Kerja Nyata (K2N) UI di Pulau Miangas tahun 2009

Pesona Pulau Sempu, Malang

Menikmati suasana pulau tak berpenghuni di Pulau Sempu sangat mengasyikan. Menikmati malam penuh bintang dan tidur di pasir Laguna sambil menatap bintang dan minum kopi panas menjadi alternatif liburan yang menarik

Monday, April 15, 2013

BERBAGI INSPIRASI DARI PELOSOK NEGERI

Saya adalah seorang guru bantu yang dikirim oleh sebuah yayasan di Jakarta ke daerah terpencil. Sudah hampir 10 bulan saya mengabdikan diri di sebuah Sekolah Dasar kelas lokal jauh di pelosok Muara Enim, Sumatera Selatan. Tentu saja kondisinya serba terbatas. Belum ada listrik dari PLN yang menjangkau tempat saya tinggal. Sinyal telepon genggam pun masih sangat minim. Bagi saya mengajar merupakan passion saya. Tidak ada penyesalan bagi saya karena setiap hari selalu ada kejutan dari anak-anak untuk saya. Bahkan terkadang, saya belajar banyak dari mereka. Saya yang seharusnya menginspirasi mereka, malah terinspirasi dari kekuatan karakter mereka yang mengagumkan.


Saya tinggal di Talang Tebat Rawas, Desa Pagar Agung, Kecamatan Rambang, Kab. Muara Enim, Sumatera Selatan. Dari desa menuju talang, saya harus melalui 16 km perjalanan diatas tanah liat yang kondisinya rusak terlebih di kala hujan. Sepanjang jalan berderet rapi pohon-pohon karet yang menjadi sumber mata pencaharian hampir semua masyarakat disini. Hanya ada 32 KK yang tinggal di Talang. Mayoritas rumah panggung yang belum mempunyai toilet. Kegiatan MCK semuanya dilakukan di sungai tak jauh dari talang kami. Bagaimana dengan kondisi sinyal? Hanya Sinyal TELKOMSEL yang berhasil ditangkap di Talang kami, itu pun harus di tempat-tempat tertentu dan hanya 2 batang sinyal yang terlihat di layar HP. Bergeser sedikit saja dari tempat itu yang terlihat hanya tanda kunci saja. Walaupun sinyal terbatas, saya masih bersyukur karena tidak perlu ganti provider karena memang sudah lama memakai simPATI. Saya membawa 2 buah HP ke talang, satu hp keluaran lama dan satu lg blackberry tour saya. Awalnya memang saya ragu membawa smart phone karena dikabari oleh teman saya di daerah tersebut susah sinyal. Ternyata memang ada kesulitan untuk mendapatkan sinyal. Namun, surprisingly ada satu spot dimana saya bisa mendapatkan sinyal EDGE! Yeaay, saya senang sekali begitu tahu di tempat itu saya masih bisa mengikuti perkembangan informasi melalui twitter (untuk browser masih sulit dibuka karena sinyal yang terbatas).




Dari tempat inilah saya mengupdate twitter dan FB saya. Dengan Blackberry Internet Service (BIS) saya juga bisa sedikit-sedikit googling tentang hal-hal yang berkaitan dengan tugas saya sebagai pengajar. Berselancar di dunia maya juga sedikit banyak juga menjadi media hiburan bagi saya. Banyak akun-akun yang saya follow menyajikan parodi melalui kata-kata dan kalimat yang lucu. Namun yang menjadi perhatian saya adalah berita-berita dari media. Jika saya perhatikan, lebih banyak berita negatif yang memprovokasi hujatan, debat tak bermutu dan melahirkan pesimisme akan negeri yang (katanya) bobrok ini. Mulai dari berita pelecehan seksual, kasus-kasus korupsi, pelecehan SARA yang memicu terjadinya pertumpahan darah, sampai kasus premanisme VS TNI/POLRI. Tentu saja masyarakat jengkel dengan ulah oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut, namun apakah hal itu selesai dengan hujatan, cacian dan adu mulut via twitter? Tentu saja tidak. Masyarakat geram karena setiap hari dicekcoki berita-berita yang mengundang kecaman dan emosi Padahal berita-berita positif yang mampu membangun optimisme tentang negeri ini juga sangat banyak. Contohnya berita-berita yang selalu di sajikan oleh akun @GreatIndonesia dan lain-lain. Pengalaman saya disini, justru membuat rasa cinta tanah air saya meningkat, melihat anak-anak didik saya yang mempunyai keistimewaan seolah menularkan optimisme akan masa depan Indonesia yang lebih baik. Dari situ, saya ingin membagi inspirasi yang saya dapatkan dari mereka kepada orang banyak melalui berbagai sosial media yang memungkinkan. Hal ini bisa saja menjadi pelajaran hidup yang berharga bagi orang yang membacanya.

Seperti cerita tentang salah satu murid saya yang bernama #Anton. (saya kultwit di twitter dengan hashtag #Anton) Ia sangat bersemangat sekolah walaupun harus menempuh jarak sekitar 16km setiap harinya ke sekolah. Orang tuanya merelakan motornya yang biasa mereka pakai untuk pergi menyadap karet ke kebun dibawa oleh anaknya sekolah, dan orang tuanya berjalan kaki setiap pagi ke kebun mereka yang jauh jaraknya. Belakangan motor satu-satunya itu pun harus diambil lagi oleh tukang kredit karena tidak membayar agunan berbulan-bulan. Anton tak patah semangat, ia mencari cara untuk bisa tetap sekolah, mulai dari berjalan kaki, nebeng siswa SMP sampai dusun, dll. Setelah share di twitter, cukup banyak mention ke akun saya ( @adhicihuy ) yang terharu dan termotivasi untuk bisa melawan keterbatasan dan selalu mensyukuri apa yang diberikan Tuhan.

Saya selalu ingat kata-kata seseorang yang menginspirasi saya untuk menjalani kehidupan sebagai pengajar di pelosok, beliau mengatakan “Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik kita menyalakan lilin.” Mengutuk tidak akan menyelesaikan masalah, bertindak walaupun itu kecil akan mempunyai dampak yang lebih nyata. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. Mendidik adalah tugas setiap orang terdidik. Tugas kita semua. Lebih baik turun tangan daripada mengecam kegelapan. Supaya lebih banyak orang yang peduli dan tergerak, tentu dibutuhkan media yang pas untuk membangun kekuatan itu. Disinilah sosial media sangat membantu saya menebar inspirasi yang didapatkan selama di daerah penempatan. Diatas saung di umeh (ladang-red) saya berbagi tentang #Anton , #Imam, dan yang lainnya.


Bahagia itu sederhana ternyata. Yang sering kita lupakan adalah bersyukur, selalu merasa kurang. Disini saya bahagia. Saya bersyukur masih bisa menikmati listrik dari jam 6-11malam saat tetangga saya rumahnya gelap gulita karena tak punya uang untuk membeli minyak. Saya bersyukur saat saya masih bisa makan nasi dan lalapan dari ladang saat tetangga saya hanya makan nasi dengan garam. Saya bersyukur saya bisa mandi di sungai yang jernih saat sungai-sungai di kota sudah tercemar berbagai limbah pabrik. Saya bersyukur masih menemukan sinyal EDGE 500 meter dari tempat saya tinggal saat ada daerah yang sama sekali tak punya kesempatan berkomunikasi dengan dunia luar. Ya, semuanya serba sederhana. Bahagia itu sangat sederhana. Bagi saya saat ini #bahagia itu saat bisa menemukan sinyal EDGE didesa dan ngetwit untuk berbagi inspirasi. 

TVC simPATI new BB Sosialita

Tuesday, April 9, 2013

#10 Hal Unik di Kampung Baruku

Understanding culture and humanity adalah salah satu ketertarikan saya. Itu juga menjadi alasan saya senang membaca dan traveling. Menyelami beragam kebudayan dan kebiasaan di tempat-tempat yang berbeda selalu menyenangkan. Nah, setelah kurang 5 bulan di daerah penempatan saya di Talang Tebat Rawas, Desa Pagar Agung Kecamatan Rambang Kabupaten Muara Enim, Sumsel. Jangan dikira tulisan ini serius dan akademis ya. Apalagi dirujuk sebagai referensi penelitian, jangan deh. Hehe. Ini hanya pengamatan kasat mata saya sebagai bagian dari masyarakat disini. Langsung aja yok kita simak! 1. Pemabuk Ketika minggu-minggu awal saya datang ke Tebat Rawas. Bahasa menjadi faktor penghambat yang paling utama. Di satu sisi saya belum bisa bahasa mereka dan ternyata mereka pun tidak begitu paham bahasa Indonesia. Saya ngobrol dengan orang tua murid tentang anaknya dan saya kaget karena berulang kali Ibu ini mengatakan anaknya pemabuk. Saya liat ekspresi anaknya yang masih kelas IV, ia menunduk malu-malu. Masak anak sekecil ini pemabuk? Saya pun bertanya minuman apa yang biasa anaknya minum, namun karena kendala bahasa tadi saya tidak memahami satu kata pun ucapan si Ibu (bisa jadi Ibunya pun tidak paham dengan pertanyaan saya, red).Yang saya lakukan cuma stay cool sambil mengangguk-angguk. Ternyata oh ternyata, pemabuk itu adalah istilah buat anak yang suka mabuk darat. Hampir semua anak di Talang ini selalu muntah jika pergi naik mobil, walaupun jaraknya dekat. Oalaaaah...kalau begitu mah saya juga kadang-kadang jadi pemabuk.. Hehehe 2. Kemaluan Lagi-lagi saya heran waktu awal ke sini mulai dari anak-anak sampai orang dewasa selalu bilang, “Aku kemaluaaan aii, dekdeu aii” Aku mengernyit tiap kali mendengar kata-kata itu, mukaku merah karena risih. Lalu kulihat ekspresi orang yang berbicara. Tampak wajar dan biasa saja. Berarti istilah ini punya arti lain, bisikku dalam hati. Apa maksudnya ya tadi? Lebih kaget lagi ketika minggu-minggu awal di kelas kusuruh anak-anak maju malah teriak-teriak “Kemaluan Pak Kemaluan..” sontak aku pun panik dan salah tingkah. Refleks kulirik celanaku barangkali retsletingku terbuka. (Saat melakukannya saya berusaha untuk tidak terlihat anak-anak, yeah that was really awkward!) Ternyata tidak. Apa yang salah denganku? Belakangan kuketahui bahwa ‘kemaluan’ disini artinya ‘malu’. Aaaakh! Aku jadi kemaluan menceritakan ini sama kalian, kawan! Hahaha. 3. Minggat Nah, kalau ini nih sistem pernikahan di sini. Minggat itu artinya sang gadis kabur dari rumah melapor ke tempat Ketua RT/ Kepala Desa tempat tinggal pacarnya. Nah jika ada gadis minggat berarti ia minta dinikahkan. Orang tua si gadis harus berdiskusi dengan calon besannya terkait pernikahan anak-anaknya. Selama proses diskusi berlangsung, si gadis tidak boleh kembali ke rumahnya. Menunggu untuk dijemput keluarganya jika kesepakatan selesai. Prosesnya bisa sampai sebulan loh. Kebetulan di talangku lagi ada gadis yang minggat, orang tuanya lagi sibuk negosiasi dengan calon besannya. Asyiik banget ya sistemnya, jadi di sini nggak ada sistem kawin lari. Heheheh. Kalau di kota-kota juga pakai sistem nya kayak begini, dijamin punah deh orang-orang yang sering galau nikah. Tinggal suruh pasangannya aja untuk minggat dan tunggu dijemput, restu orang tua langsung turun deh :D Hehehehe. 4. Cara mengusir nyamuk Awalnya saya sangat terganggu dengan kebiasaan merokok disini. Hampir semua pria remaja dan dewasa adalah perokok aktif. Ternyata, kebiasaan merokok ini ada alasannya loh! Mereka merokok untuk mengusir nyamuk saat mengambil getah karet di kebun setiap pagi. Nyamuk-nyamuk hutan yang ganas itu tidak mempan oleh cairan oles anti nyamuk yang dijual di warung-warung. Awalnya aku juga tak percaya, tapi begitu ikut nakok langsung dengan warga. Wuih, dahsyat boy! Pake celana panjang pun nyamuk masih aja nembus kulit. Dan menoreh batang karet sambil merokok itu ternyata signifikan mengusir nyamuk. Hmm, mungkin nyamuk-nyamuk disini matinya oleh nikotin ya? Nah karena setiap hari nakok dari jam 4-10 pagi, satu orang bisa loh menghabiskan sampai tiga bungkus per hari. Ckckckcck. 5. Siswa Sakit Angka ketidakhadiran di sekolah cukup tinggi juga disini. Baik siswanya maupun gurunya hehe. Cuma yang unik adalah siswa-siswa SD ini ini kalau tidak sekolah karena alasan sakit, entah itu demam, sakit perut, pusing, biasanya sorenya mendadak muncul di sekolah. Pakai pakaian bermain tentu saja.Sebagai informasi, sekolahku masuk siang, jadi pulang itu pukul 17.00. Ketika kutanya kenapa tak sekolah, jawabannya sakit pak. Aku geleng-geleng kepala, "kalau sakit ya di rumah saja, istirahat." Begitu ujarku. Mungkin kesepian kali ya, karena teman-temannya di sekolah semua, jadinya ia juga menyusul ke sekolah dan ikut bermain kejar-kejaran. Kalau ada yang seperti itu di kelas saya biasanya langsung saya suruh masuk dan duduk, walaupun tidak pakai seragam ia akan tetap bisa ikut sisa pelajaran hari itu. 6. Nugal Yang dimaksud nugal itu adalah membuat lubang di tanah untuk dibuat ladang. Biasanya ladang tersebut adalah bekas kebun karet yang sudah dibakar karena kurang produktif. Nah, sebelum ditanam pohon karet baru, sebagai variasi biasanya ditanami juga jenis-jenis tanaman lain seperti padi. Nah, uniknya dimana? Saat nugal, semua warga bergotong royong loh! Mulai dari gadis,gadis, bapak-bapak, ibu-ibu sampai anak-anak pun ikut membantu (lihat foto nugal di atas). Padahal ladangnya bukan punya rame-rame. Biasanya yang punya menyediakan makan siang dan kudapan lainnya untuk warga yang membantu. 7. Mandi Celup Tahu teh celup kan ya? Nah mandi celup itu prosesnya mirip dengan teh celup. Hehehe. Intinya adalah warga disini hampir semuanya mandi di sungai, dengan sistem seperti teh celup tadi. Padahal sudah ada beberapa sumur juga yang dibuat warga, tapi rata-rata sumur itu hanya dipakai mengambil air untuk minum. Kalau kamu ke Tebat Rawas dan mau mandi celup di sungai, jangan lupa membawa basahan. Dan tidak perlu bawa gayung karena akan ditertawakan orang sekampung. Hehehhee. Mandi celup ini sederhana dan tidak perlu waktu sampai 15 menit. Kamu tinggal masuk ke air sungai dan berendam sambil mencelupkan kepalamu. Nah setelah semua anggota badanmu kena air, kamu tinggal naik ke tepian sungai yang ada kayunya untuk bersabun dan bershampo. Bisa juga sikat gigi kalo berani (aku sih masih bertahan sikat gigi pake air sumur saja). Setelah itu celupkan lagi tubuhmu sambil membilas buih –buih yang ada di sekujur tubuhmu. Selesai deh, simpel kan? 8. Freelance Farmer Naah ini biar agak keren aja pake istilah bule hehe. Maksudnya adalah petani paruh waktu. Nah yang saya sebut petani paruh waktu itu tak lain dan tak bukan adalah murid-murid saya sendiri loh. Rata-rata siswa kelas V dan VI sudah harus membantu orang tuanya menggarap kebun karet. Setiap pagi mereka nakok, istirahat sebentar lalu sekolah. Itu juga alasannya kenapa sekolah kami masuk siang, selain murid-murid, guru-guru yang semuanya honor pun harus nakok dulu sebelum ngajar. 9. Kaleng Kerok Budaya ‘dikerok’ kalau lagi masuk angin kayaknya memang khas Indonesia. Mulai dari ujung barat sampai ujung timur kerokan ini pasti dikenal, mungkin yang berbeda hanya istilah dan alatnya. Disini juga sudah lazim kebiasaan kerokan. Bahkan kalau disini bukan hanya ketika masuk angin aja, hampir semua penyakit berakhir dengan kerokan. Ya flu, demam, pusing, diare, semuanya dikerok. Mungkin karena kepercayaan yang kuat akan kekuatan kerokan, semua penyakit itu memang berkurang (katanya) setelah dikerok. Nah yang unik adalah alat kerokannya. Tau kaleng kemasan untuk produk ikan yang diawetkan (menghindari penyebutan brand )? Nah ujung kaleng itulah yang dijadikan alat untuk menggaruk punggung anda! Saya sih belum pernah ngerasain gimana rasanya, Cukup melihat adik angkat saya disini dikerok sama Uma aja sudah meringis sendiri. Hiiiiy. Tambahan lagi, disini pemakaian minyak untuk pelicin dan pengurang gesekan itu tidak dikenal loh. Jadi coba sendiri deh garukan kaleng tersebut langsung ke punggung Anda. Hehehe. 10. The Land of Dangdut Saya menamai talang ini sebagai tanah dangdut. Semua orang disini suka dangdut. Kalau dangdut itu adalah partai, bisa dipastikan semuanya menjadi anggota aktif, hehe yaa minimal simpatisan lah. Nah, kalau Rhoma Irama beneran nyalon jadi Presiden, saya yakin banget 100% warga talang ini bakal milih dia. Disini semua penduduk dari segala usia sangat menggemari lagu dangdut. Setiap acara 17an, selalu ada lomba karaoke lagu dangdut. Hampir di setiap rumah yang mempunyai tv pasti punya mic dan vcd untuk karaoke. Bahkan, listrik yang menyala hanya dari jam 6-11 malam pun terkadang dihabiskan hanya untuk karaoke. Pas mandi, jalan di hutan, bahkan di kelas pun semua melantunkan lagu-lagu dangdut. Bahkan dengan kreatif mereka biasa mengubah liriknya sesuai dengan kondisi mereka saat itu. Contoh lagu Mansyur S diplesetkan liriknya menjadi “Kurus badaan iniii.. bukan kurang makaan.. tapi kurang gizii...” Hahahah. Saya sih seneng banget orang-orang suka lagu dangdut. Apalagi dangdutnya memang yang berkualitas, bukan semacam remix, dangdut dengan lirik porno, atau goyangan-goyangan seronok yang lagi hits di tempat lain. Disini mereka sangat mengagumi penyanyi dangdut lawas seperti Roma Irama, Cacha Handika, Iis Dahlia, Evi Tamala, dll.Satu hal positif lagi dari kegemaran mereka karaoke, sinetron-sinetron dan tayangan TV yang kurang mendidik itu menjadi jarang ditonton! Horeee..Naah pas saya ngetik ini di kamar pun, di ruang tengah kakak angkat saya sedang karoke loh. Itu beberapa temuan yang menurut saya unik selama 5 bulan ada di Talang Tebat Rawas di tengah Hutan Karet ini. Oke deh, sekian dulu info dari saya. Saya mau ikutan karokean di ruang tengah !! :D **** Tebat Rawas, 13 Nopember 2012 Salam Hangat, Adhi Rachman Prana

Friday, September 14, 2012

Surat Pertama Mereka

Hari minggu sepulangnya dari Muara Enim setelah berkooordinasi dengan Dinas Pendidikan, aku senang sekali. Kali ini kepulanganku membawakan sesuatu yang berharga buat anak-anak Talang Tebat Rawas, dimana mayoritas anak-anak sekolahku tinggal. Bukan kawan! Bukan satu kotak cokelat seperti yang engkau pikirkan, bukan pula beberapa bungkus permen yang disenangi anak-anak. Jauh lebih bernilai daripada berbagai kudapan yang sudah kusebutkan. Surat kawan! Ya, surat untuk anak-anak sekolahku dari Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur!! Pengirimnya Rian Ernest, pengajar muda 2 yang juga sempat kutemui bersama Mario dan Dhini saat open house IM sebelum PM 2 berangkat. Surat itu sampai bulan Juli, sedangkan suratnya ditulis pada bulan Mei. Wah, awalnya aku berpikir lambat sekali surat tersebut sampai ke Muara Enim. Namun melihat bagian depan suratnya, saya paham. Mungkin ini memang sesuai dengan harga perangko Rp.5000 yang tertempel di muka amplop. Pantas kurang lebih 2 bulan baru sampai suratnya. (haha Rian ini, kirim surat dari Rote,NTT ke Sumsel kok disamain sama harga naik bus dari Depok-Blok M di Jakarta :D) Hari Senin itu aku masuk ke sekolah dengan riang, sengaja aku belum membuka amplop putih tebal itu. Aku ingin membukanya bersama kelima belas anak di kelasku yang selalu memberikan kejutan-kejutan menyenangkan setiap waktunya (tentunya diselingi juga dengan kejutan menyebalkan dari mereka :D). Dalam perjalanan ke sekolah aku sudah membayangkan bagaimana ekspresi anak-anakku bergitu tahu mereka mendapatkan surat pertama seumur hidup mereka. Teringat dua minggu sebelumnya, saat aku masih mengenalkan apa itu surat kepada mereka, serta menjelaskan manfaatnya mereka tampak masih tidak percaya kalau mereka bisa punya sahabat pena di daerah-daerah yang jauh. “Waaah, masa sih Pak, kita bisa punya kance uwang Papua?” “Bapak nganterin suratnya sendiri kesana ya Pak naik kapal?” “Paak..susah Pak buat surat Paak” Dan berbagai pertanyaan dan rengekan-rengekan lainnya. Kini dalam beberapa menit saja aku akan tahu, seperti biasanya ketika mereka menemukan bukti atas suatu pengetahuan mereka akan mengangguk-anggukan kepalanya dengan semangat. Sambil kadang-kadang berucap “ Oooh.. iya ya Pak.. betul ya pak..”. Setelah berdoa dan menyanyikan lagu 9 tanda senyum sebagai pengingat peraturan sekolah, aku pun mulai membuka pelajaran Bahasa Indonesia pada siang itu dengan mengacungkan ke atas amplop surat itu. “Ada yang tahu benda apa yang Bapak pegang?” Aku melihat ke sekeliling kelas seandainya ada tangan-tangan mungil terangkat disana. “Ya, Apa Imam?” kutunjuk bocah mungil di pojok kanan yang mengacungkan tangannya malu-malu “UANG PAK!!” teriaknya, aku pun menggeleng. Anak-anak lain tertawa. “Buku, Pak!!”, seorang anak menjawab. Aku masih menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. “Kertas, Pak?” “Pensil, pak..” “Gambar Pak”.. kelas jadi riuh dengan berbagai terkaan anak-anak yang semakin ngawur, seperti acara kuis Nico Siahaan dulu di televisi (Apa ini Apa Itu-red). “Oke..cukup-cukup..” potongku mencoba mengendalikan kelas. Kupancing dengan stimulus keterangan berikutnya “ Lihat ini di depannya ada kertas kotak kecil bertuliskan angka-angka.. ini sudah Bapak jelaskan namanya apa ?” “Prangko Pak”, Letri yang memang punya daya ingat paling baik menjawab “Bagus Letri! Naah kalau ada perangko berarti ini apa?” pancingku lagi. “Suraaat Pak “ beberapa anak menjawab serempak. Sisanya masih terbengong-bengong. “Bagus Anak-anak. Ini namanya Surat!! Tepuk hebat dulu untuk kalian semua “ kataku mengapresiasi. “Prok..prok..prok YES..prok..prok prok..YES...prok prok prok KAMU HEBAT!!” mereka tertawa setelah kompak saling memberi apresiasi dengan tepukan tangan. Aku pun melanjutkan penjelasanku tentang surat dari Rote Ndao, mereka tampak bersemangat. Matanya berbinar terpaku pada kertas persegi panjang berukuran 10x20 cm itu. Tanpa diminta, semuanya sudah mengerubungi meja saya. Sambil ribut dan berusaha melihat bentuk surat yang mereka terima. Sebelumnya akupun meminta mereka melihat di peta yang dipasang di depan kelas, dimana Rote Ndao itu. Anak-anak sibuk mencari, kurang dari 1 menit sudah kembali berteriak-teriak “Ini Paak..ini Paaak di bawah”. Sambil loncat-loncat mereka menunjukkan satu titik di ujung selatan peta Indonesia. “ Nah..betul sekarang kalian baca dulu masing-masing suratnya, karena hanya ada 12 jadi ada yang berdua-berdua “ . Begitu instruksiku kepada mereka. Dengan patuh mereka duduk di kursi dan membaca surat dengan suara keras dan masih sedikit mengeja. Tapi yang paling menyenangkan adalah melihat mereka terkejut atas apa yang temannya tulis. Seorang anak yang memang masih belum lancar membaca tiba-tiba terkaget-kaget. " Aiiih, Pak.. ngapeu ini anak gala jadi orang gila?", seru Adit terheran-heran. Ia membaca tulisan seorang anak Rote yang bercita-cita ingin menjadi orang gila. Praktis anak-anak lain langsung mengerubungi meja Adit dan mengiyakan lalu tertawa terbahak-bahak. "Ah, masa? coba kamu baca lagi yang betul Adit", kataku sembari menghampirinya. Setelah kulihat, sekilas memang tulisannya seperti kata gila, namun ternyata itu adalah Guru. Huruf u nya dibuat hampir seperti huruf A. "Nah, ini kan maksudnya Guru, Adiit.. makanya kalian kalau menulis harus jelas juga dan mudah dibaca yaa..", ujarku. Ada lagi hal unik lain yang mereka dapatkan. Seperti salah seorang anak menuliskan makanan kesukaannya daging babi, seorang anak langsung berteriak memberitahu kawannya “Ooooi, ada yang suka makan daging babii!!” Aku pun menjelaskan. “betul anak-anak, mayoritas teman-teman kita disana memang makan babi, karena agama mereka Kristen. Nah kalau kalian kan tidak boleh karena dilarang oleh ajaran Is..” “laaaam” anak-anak melanjutkan. “Oooh di kita banyak Pak babi hutan, tapi dek ngatek uwang makan. Kita kasih buat mereka di Rote saja ya Pak “ Rusli seorang anak kelas 5 menyarankan “Oii susah oii, masa mau kirim babi ke rote?! ” kata Angga disambut tawa riuh di kelas itu. Aku senang, mereka bisa menerima perbedaan dengan positif, bahkan ada anak yang menawarkan supaya babi hutan yang sering sekali berkeliaran di hutan sekolah dan merusak umah mereka diberikan saja untuk anak-anak di Rote supaya dimakan. Memang disini biasanya babi hutan ditembak untuk dibunuh karena merusak ladang. Tapi tidak pernah dimakan karena semua warga di Talang kami adalah muslim. “ Nah, sekarang kalian tahu kan, mereka berbeda agamanya, tapi kalian harus saling menghormati dan tetap berteman dengan mereka. Ingat apa semboyan negara kita?” Lanjutku menjelaskan “Bhineka Tunggal Ika” ujar Juhanda, “Artinya berbeda tapi tetap satu, Pak..” lanjut Malsi “Bagus anak-anak! Sekarang karena mereka sudah memberi wawasan baru tentang agama mereka kalian juga buat surat balasan ya. Isinya bebas, tapi lebih baik ceritakan kegiatan kalian saat ini. Kan kalian puasa, mereka tidak, Coba jelaskan puasa itu apa ke mereka supaya paham.” Terangku. “Jadi ya Pak cerita Lebaran?” Angga bertanya “Jadi.. laju lah mulai..” Seketika kelas sibuk dengan anak-anak yang menulis surat balasan. Terkadang diselingi cekikikan melihat foto-foto anak-anak eksotis dari ujung selatan itu. Bahkan beberapa anak laki-laki di kelasku menukar suratnya dnegan temannya supaya bisa mendapatkan kawan perempuan. (Halah! Tidak heran aku dengan bocah-bocah melayu ini :D) Aku pun meminta mereka membuat gambar untuk kawan-kawannya di Rote. Mereka lalu berinisiatif pula membuat tulisan we love rote di kertas plano untuk difoto dan dikirimkan kepada kawan-kawannya di perbatasan sana. Bagi mereka, pengetahuan bisa didapat dari mana saja. Melalui surat, khususnya program Jejaring Anak Indonesia yang diinisiasi oleh Indonesia Mengajar, mereka bisa saling menceritakan kondisi satu sama lain, kebudayaan mereka, kebiasaan mereka dan kondisi geografis mereka. Diharapkan semangat kebangsaan dan kebersamaan sebagai Bangsa Indonesia bisa terus tumbuh dan berkembang di hati sanubari anak-anak ini. Tenun kebangsaan sudah mulai kami rajut di talang tebat rawas ini, tinggal melihat hasil rajutan berupa kain tenun indah yang mempersatukan tunas-tunas bangsa ini di seluruh nusantara.

Friday, July 6, 2012

Analogi Hutan Karet

Apa yang terlintas pertama kali di pikiran anda ketika mendengar hutan karet? Lalu, bagaimana ketika anda mndengar kata pantai? Berbeda bukan? Melihat hutan karet bagi anda mungkin lebih membosankan jika dibandingkan dengan pantai. Jelas jika kita berada pada bahasan tampilan (packaging), pantai memiliki nilai estetika lebih tinggi, namun dilihat dari kebermanfaatan (utility), bisa jadi hutan karet mempunyai nilai ekonomis yang lebih besar.
Perjalanan pertama menuju desa Pagar Agung Talang Tebat Rawas Kec. Rambang Kab.Muara Enim Sumatera Selatan terasa begitu panjang. Jalur jalan tanah merah diselingi kubangan air di tengahnya mewarnai perjalanan kami. Sisi kiri dan kanan selalu ditumbuhi oleh pohon karet yang berderet rapi. Ya, rumah baru saya ada di tengah-tengah hutan karet. Akhirnya saya akan memulai tugas sebagai pengajar muda. Kilasan adegan-adegan muncul tiba-tiba, ketika kami masih berada di Purwakarta, menjalani pelatihan intensif. Berbicara dengan teman-teman mengenai daerah penempatan, tentu masing-masing mempunyai preferensi yang berbeda. Saya ingat betapa saya dulu ingin sekali ditempatkan di daerah pantai, begitu pun kebanyakan teman-teman sesama pengajar muda. Saya bersyukur akirnya saya ditempatkan di hutan karet, hal yang baru bagi saya. Membuat saya berhasil menemukan refleksi saya tentang kata-kata klise yang sering diucapkan “Don’t jugde a book by its cover”, sering sekali diucapkan namun baru saya pahami artinya ketika saya sampai disini.
Teringat masa-masa kuliah dulu saat saya baru mengenal istilah consumers preference (preferensi konsumen), bahwa manusia bisa memilih berdasarkan opsi-opsi yang ada. Pilihan setiap orang akan dipengaruhi oleh preferensi. Setiap orang mempunyai penilaian dan preferensi yang berbeda untuk setiap hal. Namun, ada banyak hal pula yang biasanya menjadi opini publik dimana sebagian besar orang memiliki pandangan yang sama untuk suatu hal. Pantai dan gunung misalnya, banyak orang yang memiliki preferensi lebih besar terhadap pantai dibandingkan gunung atau mungkin pula sebaliknya. Namun, jika saya mengubah variabel gunung menjadi hutan karet, hampir bisa dipastikan bahwa semua orang akan memilih pantai. Benar, termasuk saya. Pantai mempunyai keunggulan dalam hal ‘riasan’. Panorama khas lautan yang biasanya bisa dinikmati setiap pengunjung dari bibir pantai menjadi sarana refreshing pelepas lelah. Berbeda dengan deretan pohon karet yang berjajar rapat di kanan kiri jalan tanah liat menuju desa saya, tidak ada hal yang istimewa atau bisa dinikmati dari panorama ini. Itu apabila lagi-lagi apabila kita berbicara mengenai riasan. Hutan karet yang bagi sebagian orang tidak menarik dilihat dari sisi pemandangan, mempunyai utilitas yang tinggi bagi masyarakat di desa tersebut. Pantai mempunyai nilai ekonomis ketika bisa dijadikan suatu objek wisata, pantai menawarkan keindahan yang bisa dinikmati setiap orang, namun pantai bukan lah produk, yang bisa dikemas dan dijual ditempat lain. Berbeda dengan pohon karet, puluhan ribu masyarakat bergantung padanya. Setiap hari, petani karet di kampungku pergi untuk menyadap getah karet. Selain itu, batang yang sudah tidak produktif bisa dipotong dan dijual kembali. Pohon-pohon tua bisa dengan cepat digantikan oleh batang-batang baru yang ditanam kembali. Akar pohon karet juga berfungsi sebagai resapan air tanah. Pohon-pohon karet tersebut juga sumber oksigen bagi masyarakat dan karena kerindangannya bisa menahan panas matahari langsung di dataran rendah Muara Enim ini. Saya melihat masih banyak orang yang terpengaruh oleh packaging, citra (image), ‘riasan’ dan juga penampilan dalam menilai sesuatu, tanpa melihat isi atau kebermanfaatannya, termasuk saya sendiri. Sama seperti politisi yang selalu menampilkan citra, sehingga pencitraan menjadi hal yang wajib dilakukan oleh para calon anggota dewan tersebut. Paradigma seperti inilah yang secara perlahan perlu diubah, supaya masyarakat Indonesia tercerdaskan, dan lebih melihat isi daripada kemasan.
Pendidikan di pelosok, layaknya hutan karet sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Tidak cantiknya pemandangan sekolah seringkali dikonklusikan sebagai buruknya prestasi sekolah dan kualitas pembelajaran di sekolah itu. Kondisi fisik; fasilitas, sarana dan prasarana sering dianggap faktor penghambat kemajuan pendidikan. Sementara sekolah di kota-kota besar yang memiliki fasilitas lengkap dianggap akan menghasilkan lulusan-lulusan sukses bahkan tanpa melihat bagaimana proses belajar mengajar di kelas berlangsung. Banyak orang pesimistis akan sekolah-sekolah rusak di pelosok. Tidak ada optimisme bahwa sekolah-sekolah di pelosok akan melahirkan sosok-sosok pemimpin sukses di masa depan. Andrea Hirata, satu dari segelintir orang yang telah berhasil mengubah pemikiran banyak orang akan hal ini, ia yang datang dari pelosok Belitong berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri dan menjadi penulis best seller. Dengan menuliskan novel yang diambil dari kisah hidupnya yang mengangkat wajah pendidikan di pelosok, optimisme akan kemajuan pendidikan di daerah mulai muncul. Disini, saya mempunyai tanggung jawab untuk membuktikan kepada publik sekaligus menebar optimisme, bahwa keterbatasan ekonomi, fasilitas dan sarana prasarana penunjang pendidikan tidak menjadi penghalang bagi keberlangsungan pembelajaran berkualitas di sekolah. Itulah tantangan terbesar saya sebagai pengajar muda di daerah hutan karet, Talang Tebatrawas Desa Pagaragung Kab.Muara Enim. Bagaimana memaksimalkan potensi sekolah di pelosok melalui sumber daya manusianya, siswa, guru, kepala sekolah, komite, dinas pendidikan dan pemangku kepentingan lainnya. Bukan, bukan dengan menonjolkan kualitas kemasan, melainkan dengan menonjolkan kualitas isinya. Untuk menutup tulisan ini, saya teringat kata-kata seorang dosen “ Untuk membangun Indonesia, bangunlah manusianya terlebih dahulu, pembangunan fisik hanya penunjang, ketika kualitas manusianya sudah terbangun, pembangunan fisik pasti akan mengikuti.”

TRAMBOL

Keterbatasan fasilitas dan sarana di pelosok bukan penghalang bagi para pemuda untuk berinovasi dan berkreatifitas. Melalui permainan TROMBOL, para bujang di Rambang, Muara Enim membuktikan ketiadaan sarana hiburan pelepas lelah membuat mereka mampu mengkreasikan permainan lokal yang mengasyikkan. Siapa yang tidak kenal dengan permainan billyard? Jenis permainan yang sering kita jumpai di kota-kota besar ini memang menjadi sarana pengusir stress bagi sebagian orang. Menyodok bola dengan tongkat supaya masuk ke dalam salah satu dari enam lubang yang ada di pinggiran arena billyard memang mengasyikkan. Selain kecerdasan kinestetik, perlu perhitungan dan ketelitian yang mumpuni untuk dapat memasukan bola-bola tersebut. Jika billyard biasanya ada di pusat-pusat hiburan di kota-kota besar, kawula muda di kota kecil pun dimanjakan dengan permainan bernama karambol. Jika billyard membutuhkan tongkat untuk menyodok dan mengarahkan bola ke dalam lubang, karambol cukup menggunakan jari saja untuk mengarahkan kepingan plastik pipih bernomor itu ke dalam 4 lubang di sudut papan karambol. Saya jadi teringat permainan karambol yang sering dimainkan ketika masih kuliah, di depan kantor Badan Otonom Economica (BOE) FEUI, biasanya para mahasiswa memainkan permainan yang membutuhkan bedak untuk pelicin papan alas tersebut sembari menunggu kelas berikutnya. Permainan yang simpel dan menghilangkan stress juga membuka ruang berinteraksi bagi para pemainnya. Biasanya kami bermain sambil mengobrol ngalor-ngidul, mulai dari politik hingga curhat masalah kuliah maupun nilai. Billyard dan karambol tentu saja tak asing bagi saya, namun permainan yang baru saya temukan di Talang Airguci, Desa Sugihan, Kabupaten Muara Enim inilah yang membuat saya takjub. Namanya trombol, permainan ini hampir setiap malam dimainkan oleh para bujang di Talang airguci. Sepintas, permainan ini mirip sekali dengan Billyard, namun yang disodok disini bukan bola bulat berwarna melainkan potongan kayu berbentuk bulat pipih dengan diameter sekitar 4 cm dan tebal sekitar 2 cm. Diatas potongan kayu tersebut diwarnai dengan spidol permanen biru dan merah, tak lupa dibubuhi angka-angka layaknya yang terdapat pada bola bilyard maupun karambol. Anda tentu saja tidak dapat menemukan baik potongan kayu bulat dan alas permainan trombol ini di toko-toko olahraga karena semuanya mereka buat sendiri. Saya bertanya asal mula permainan ini, namun bujang-bujang talang tersebut tidak mengetahui dengan pasti karena permainan ini sudah cukup lama menjadi primadona di kalangan pemuda-pemuda talang. Uniknya permainan ini, lubang hanya ada di keempat sudut papan seperti pada permainan karambol, namun cara menggerakan kayu bulat itu menggunakan tongkat seperti pada permainan billyard. Saya terkesima melihat permainan trombol, kreatifitas para pemuda di pelosok Sumatera Selatan ini sangat luar biasa. Mulai dari papan permainan, tongkat dan biji bola semuanya dibuat sendiri. Aturan main pun kadang berubah sesuai keinginan dari para pemainnya. Karena bola yang dimainkan berbentuk pipih, cukup sulit bagi saya ketika mencoba menyodok dan memasukkannya ke dalam lubang. Disinilah fungsi dari bedak bayi yang terlihat di pojokan meja, papan yang terbuat dari triplek dan biji bola dari kayu menghasilkan gaya gesek yang cukup besar sehingga sedikit sulit meluncur walaupun sudah ditambah gaya dorong dari tongkat sodok. Sembari bermain saya pun mengobrol dengan mereka yang berbicara menggunakan bahasa melayu. Bukan melayu asli memang, karena sudah bercampur dengan bahasa daerahnya sendiri dan serapan berbagai bahasa dari Jawa, Sunda dan Palembang. Melalui permainan trombol ini, para pemuda biasanya berkumpul dan mengobrol sampai larut malam, bahkan biasanya mereka baru bubar ketika genset sudah mati, yaitu sekitar pukul 23.00. Saya senang bukan main melihat permainan trombol ini ada di desa. Disaat para pemuda ini membutuhkan sarana hiburan pelepas stress, dengan keterbatasan yang ada mereka mampu mengkreasikan permainan sendiri. Mungkin awalnya, bilyard dan karambol-lah yang menginspirasi sang inventor membuat permainan ini, namun melihat peralatan billyard sulit didapatkan, dengan bahan-bahan yang ada mereka berhasil menciptakan permainan sendiri yang tak kalah mengasyikkan. Disini saya belajar bahwa inovasi dan kreatifitas bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tidak terbatas pada zona nyaman yang penuh fasilitas dan sarana. Yang terpenting, ada usaha dan kemauan untuk berpikir dan memberdayakan hal-hal yang ada di sekitar kita.

Kids on My Window

Kalau adek mau tebu, Ambilah di kebunku ..Kalau adek rindu padaku, Angin bertiup itu salamku” Itu merupakan satu dari sekian banyak pantun yang dibuat Angga, seorang anak kelas 4 SD di Talangku. Layaknya lirik lagu melayu yang romantis, mayoritas anak-anak Talang Tebatrawas, tempatku mengajar sangat piawai dalam berpantun dan menggoda kanca-kancanya. Setelah hampir 1 Minggu tinggal di rumah keluarga Dimas, tanggal 21 Juni 2012 aku pun resmi tinggal di Rumah Keluarga Bapak M. Pudi di talang Tebatrawas, Desa Pagar Agung. Dari rumah Dimas di Air Guci, kami harus menempuh perjalan sekitar 45 km selama kurang lebih 1.5 jam melalui jalan tanah merah yang berkelok-kelok dengan panorama deretan pohon karet di kanan kiri jalan. Terkadang kubangan air berlumpur pun terpaksa harus dilalui roda si kuda besi. Sebagian besar rumah di talang Tebatrawas adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Hanya ada 3 rumah yang sudah berbahan dasar batu batu dilapisi semen, salah satunya rumah keluarga yang kutinggali. Aku menempati satu kamar di tengah yang mempunyai satu jendela kayu menghadap ke rumah panggung tetangga. Ketika sedang beres-beres, tiba-tiba seorang anak dengan malu-malu melongok ke jendelaku. Aku pun tersenyum sembari bertanya namanya siapa. “Namaku Angga” ujarnya sembari tersenyum lebar. Kami mengobrol singkat, karena aku masih belum ’pacak’ bahasa talang. Itulah awal perjumpaanku dengannya. Tak kusangka hari-hari ke depannya obrolanku dengan Angga menjadi rutinitas pagi hari setelah aku bangun pagi. Saat aku buka jendela, Angga sudah duduk di depan rumah panggungnya, menyapaku “Paak..” seraya berlari-lari kecil menghampiri jendelaku dan duduk disana. Tiba-tiba anak kelas 4 SD ini mengajakku berbalas pantun. Pantun-pantun yang dibuatnya semuanya tentang cinta, aku terpesona oleh kelihaian anak ini bermain kata. Banyak sekali pantun-pantunya saat itu, aku tidak ingat semuanya saking takjubnya. Ada beberapa yang kuingat, begini bunyinya : Menulis surat di atas batu Hati-hati takut ku salah Kalau adek cinta padaku Tunggu aku tamat sekolah Kalau adek mau tebu Ambilah di kebunku Kalau adek rindu padaku Angin bertiup itu salamku Alamaak!! aku ternganga! Takjub dengan kepiawaian angga berpantun disertai gaya centilnya layaknya pria kasmaran yang sedang merayu wanita. Selama kurang lebih 10 menit keluarlah sekitar 12 pantun dari mulut kecilnya yang selalu dilantunkannya dengan nada riang. Bukan aku tak punya mistar Mistarku ada di laci Bukan aku tak punya pacar Pacarku lagi mengaji Sudah tahu jalannya licin Kenapa adik bersepeda Sudah tau kakaknya miskin Kenapa adek jatuh cinta Kura-kura bersepatu Kura-kura dalam perahu Pura-pura tidak tahu Di dalam hati bilang i love you Buah dukuh buah rambutan Cuma satu masak di hutan Cintaku bukan buatan Seperti paku lekat di papan Kupu-kupu hinggap dilampu Kutepak dengan sapu Kalau adek rindu padaku Peluk bantal itu salamku Setelah beberapa lama, Angga mulai memaksaku untuk membalas pantunnya. Pagi-pagi bukan waktu terbaik buatku untuk berpikir. Namun, ditantang anak kecil yang akan menjadi muridku ini membuatku harus memutar otak. Dengan cepat aku melantunkan pantun yang sedikit ‘maksa’. Memancing ikan di tepi kali Benangnya kuikat tali pita Heran aku sama anak-anak ini Masih kecil sudah tahu cinta
Ia pun tertawa-tawa mendengarnya. Aku juga senang, akhirnya bisa tahu bagaimana untuk masuk ke anak-anak Talang Tebatrawas ini. Salah satu cara jitunya adalah lewat pantun. Termasuk ketika saya memperkenalkan diri di depan wali murid dan siswa pada saat pembagian rapot pun, saya buka sambutan saya dengan pantun yang disambut riuh oleh tepuk tangan warga. Semakin lama berinteraksi dengan Angga, aku pun mulai menghapal tipe-tipe pantun-nya Angga. Dua hari berselang, anak-anak yang muncul di jendelaku semakin bertambah. Ada teddy, Sinta, Ayub, Arga, Firul dll. Aku sambut dengan ceria karena mereka selalu datang dengan pantun gombalan mereka yang kubalas terpatah-patah. Burung pipit terbang di bukit Sampai di bukit bertelur dua Hati siapa tidak sakit Melihat kakak duduk berdua Jangan menulis diatas kaca Menulislah diatas meja Jangan menangis karena cinta menangislah karena dosa. Menulis surat di meja batu Ada cewek di sampingku Nempel-nempel marahi aku Tak tahunya cinta padaku Jalan-jalan ke Bengkulu Jangan lupa membeli buku Kalau ade rindu padaku Tiup lilin itu salamku Aaah, anak-anak melayu ini seperti layaknya lirik-lirik dalam lagu melayu. Melankolis dan romantis. Kelak, akan kupakai pantun sebagai jurusku dalam mentransfer ilmu di dalam kelas-kelas kecil mereka. Tak sabar rasanya menunggu tangggal 9 Juli 2012, hari pertama jagoan-jagoan pantun itu masuk sekolah lagi. Tungggu aku anak-anak hebat!
“Berlari-lari keluar keringat Minum air dari dalam gelas Jangan lupa siapkan semangat Ada bapak guru baru nanti di kelas”

Doni, Si Jenius Gambar

Minggu pertama penempatan aku habiskan di Talang Airguci, Desa Sugihan. Karena satu dan lain hal, aku belum bisa masuk ke desaku di Talang Tebatrawas. Di desa ini sudah Ada Dimas Sandya, Pengajar Muda angkatan 2 yang akan digantikan oleh temanku, Trisa Melati. Untuk mengisi waktu, akupun ikut membantu Dimas dan Trisa di sekolahnya mereka, sebenarnya sudah tidak ada lagi kegiatan KBM, namun kami tetap masuk untuk sekedar memberikan motivasi dan bermain bersama. SDN 10 Rambang Kelas lokal jauh mempunyai enam rombongan belajar. Namun hanya ada satu ruangan yang disekat oleh triplek tipis menjadi 3 bagian. Satu bagian kelas terdapat dua baris meja, kelas 1 dan 2, 3 dan 4, 5 dan 6. Ketiga bagian itu disatukan oleh papan tulis yang sama. Aaakh, kawan kau harus melihat fotonya. Ini yang selalu diceritakan Dimas, tiga guru berdiri di depan kelas masing-masing mengajar 2 kelas, suaranya terdengar ke semua ruangan. Bahkan kadang-kadang ada siswa kelas 3 yang menjawab pertanyaan guru di kelas 6. Untuk konsentrasi pun sangat sulit, untungnya masing-masing guru saling pengertian. Terkadang ada guru yang membawa muridnya belajar di luar kelas. Miris sekali, kawan! Namun, aku tidak akan membicarakan sekolahnya dulu disini. Aku mau cerita tentang anak kelas 4 bernama Doni, Doni Iskandar nama lengkapnya. Aku masuk ke kelas 3 dan 4, setelah berkenalan dan bernyanyi bersama aku menanyakan kepada mereka tentang cita-citanya. Dengan metode bernyanyi semuanya menceritakan cita-citanya serta apa yang diperlukan untuk mencapai cita-cita itu. Aku kagum terhadap Dimas, mereka sudah pandai dan tidak malu-malu lagi untuk berbicara. Aku lihat juga anak-anak ini sudah mempunyai percaya diri dan optimisme akan masa depannya. Okta, dengan tegas berkata “Cita-citaku ingin menjadi artis, untuk itu aku perlu berlatih keras dan konsentrasi”. Anak lainnya, Juni berkata “ aku nak jadi Pemain Band, buat jadi pemain band harus bisa menahan malu”. Ada juga yang berujar “ Aku ingin menjadi pelukis, harus rajin melukis dan berdoa”. Ada satu anak lagi yang dengan malu-malu mengatakan ingin jadi kiai. Ketika ditanya apa yang dibutuhkan, ia menjawab “ harus rajin solat dan mengaji pak.” Terakhir, Doni mengatakan ingin menjadi pemain bola, ia berkata “ Pemain bola harus kuat fisik, berlatih keras dan juga harus pintar”. Setelah semuanya menceritakan cita-citanya aku memberikan motivasi bagi mereka untuk terus berusaha memperjuangkan apa yang mereka cita-citakan tentunya dengan belajar, berlatih dan berdoa. Selesai kelas, Doni menghampiriku, ia mengambil sobekan kertas dari bukunya dan menyerahkannya padaku “untuk Bapak..”, ujarnya seraya memberikan kertas tersebut padaku. Setelah berterima kasih kubuka kertas itu. Isinya gambar yang dibuat untukku, dengan kaos timnas bola bernomor 17 dan tulisan diatasnya ‘Bapak adi’. Aku senang kawan! Bukan, bukan karena disitu aku disejajarkan dengan Irfan Bachdim namun karena bentuk perhatian dan ketulusan anak itu. Di pelosok yang belum ada listrik ini, ada seorang anak yang memperhatikan orang baru dan memberikan sebuah gambar hasil karyanya. Ini jelas lebih indah daripada lukisan-lukisan yang biasa dibuat kartunis untuk politisi yang diundang di reality show TV nasional, kawan!
Aku jadi teringat ketika aku kecil, aku juga sering menggambar teman-teman dan guru-guruku di dalam kelas. Temanku senang aku gambar, tidak dengan guruku. Guruku pernah merobek karyaku karena menganggap menggambar itu tidak ada gunanya. Tipikal guru yang mempunyai pemikiran sempit saat itu. Sekarang, aku sungguh bangga dengan Doni, dengan guru-guru yang memfasilitasi anak-anak untuk mengembangkan bakatnya. Doni jelas mempunyai bakat dalam menggambar, kuperhatikan karya-karyanya di mading sekolah juga bagus-bagus untuk anak seusianya. Aku pun membalas gambarnya dengan gambar buatanku. Gambar Tentang Doni, membawa piala Liga Asia sebagai kapten Indonesia yang menjadi juara. Sambil kutuliskan “jangan lelah mengejar cita-citamu!” Malamnya aku memberikan gambar itu untuk Doni, ia pun senang dan memuji gambarku. Aku bilang gambarnya lebih bagus. Dengan pujian tulusku, aku sama sekali tidak mengharapkan Doni memilih menjadi pelukis daripada pemain bola. Buatku itu adalah pilihan anak itu. Apapun pilihannya perlu kita dukung dengan semangat dan motivasi. Ini adalah bentuk apresiasi terhadap anak, aku belajar banyak dari pengalamanku. Ketika anak merasa diperhatikan dan bakatnya diakui, maka kepercayaan dirinya akan meningkat. Waktu kecil, aku bermimpi menjadi arsitek, aku ingin membuat kastil yang indah di bulan (mungkin waktu itu terlalu banyak nonton film Sailormoon-red). Aku sering menggambar istana di bulan, namun sejak aku dimarahi oleh guruku karena menggambar dan tidak ada yang mengapresiasi gambarku, aku mulai meninggalkan dunia menggambar. Selama pelatihan Pengajar Muda, aku pun belajar untuk selalu membicarakan hal-hal positif dan optimis dengan anak-anak. Mimpi mereka perlu didukung selama itu positif. Aku percaya kelak, Doni akan menjadi pemain bola yang hebat atau bahkan pelukis yang sukses. Begitu pun anak-anak lainnya di talang ini. Ini merupakan awal bagiku, membantu mereka untuk terus berani bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpinya.

Tuesday, June 28, 2011

Foto-foto Java Jazz Festival 2011

Tahun ini Java Jazz Festival menampilkan artis-artis papan atas dunia sekelas Santana, George Banson,Corinne Bailey Rae dan lain-lain. Ini kali pertama saya menyaksikan perhelatan musik Jazz terbesar di Indonesia, dengan pengorbanan antri hampir dua jam di Untar saya dan teman-teman pun mendapatkan tiket student price bermodalkan KTM saya.

Berikut beberapa foto yang berhasil diambil penulis.




Thursday, June 23, 2011

52 jam Depok-Miangas

Perjalanan Depok-Miangas merupakan perjalanan terjauh dan terlama yang pernah saya rasakan sampai saat itu. Betapa tidak, jika ditotal perjalanan saya dari depok menuju Miangas adalah 52 jam, itu sudah termasuk waktu untuk acara packing di kampus dan acara pembukaan oleh Gubernur Sulawesi Utara di Manado. Berhubung ini trip pertama saya bersama teman-teman kampus yang jaraknya jauh, ada saja hal yang menggelikan sepanjang perjalanan.

Gedung PPMT, 14 Juli 2009, Pkl. 20.00 WIB

Kehebohan melanda seantero gedung Pusat Pelayanan Mahasiswa Terpadu (PPMT). Masing-masing orang sibuk dengan barang-barang bawaanya masing-masing. Beberapa kebingungan memilah mana barang-barang yang harus di bawa dan mana yang terpaksa ditinggal. Aturan yang membatasi jumlah bagasi mahasiswa hanya 15 kg cukup membuat kepala cenat-cenut. Saya yang pertama bepergian untuk waktu sebulan tentu memasukkan banyak baju dan cemilan untuk memastikan saya disana tidak kelaparan hehe. Hal itu membuat beban koper saya 20 kg, imbasnya saya harus mengurangi 5 kg beban koper saya. Belum lagi barang-barang kelompok yang akan digunakan untuk program selama disana sangat banyak dan masih harus ditandai dengan kertas putih diatas kardus-kardus yang sudah di.ikat rapi. Kira-kira jam 22.00 saya berhasil membuat beban koper saya menjadi 15 kg lebih sedikit. Saya tidak ambil pusing dengan kelebihan nol koma sekian kg, segitu saja sudah membuat kepala pusing. Saya meninggalkan jaket saya dan 2 kaos karena ternyata saya mendapat lagi jaket dan kaos K2N, saya juga akhirnya mengeluarkan 4 underwear saya dan lebih memilih membaawa 4 pack disposable (dan ini merupakan keputusan yang saya sesali setibanya di Pulau Miangas ! ) serta menghabiskan beberapa coklat yang saya bawa.


Gedung PPMT, 15 Juli 2009, Pkl. 01.00

Ketua panitia K2N UI 2009 melakukan briefing sebelum pemberangkatan. Kami disarankan untuk selalu bersama-sama dnegan anggota kelompok kami dan melapor apabila ingin ke toilet atau bepergian sendiri tanpa rombongan. Setelahnya, kami langsung naik ke bis kuning yang akan membawa kami dari depok menuju bandara soekarno hatta. Saya sempat heran mengapa sepagi itu kami berangkat ke Soeta padahal pesawat baru boarding jam 05.00 WIB, teman saya bilang panitia tidak mau mengambil risiko telat dan supaya kita menjadi orang pertama yang memasukkan barang-barang ke bagasi. Setelah melihat sendiri bawaan 71 anak dan juga barag kelompok yang harus di kargo saya pun paham. Kami menggunakan 3 bis kuning AC untuk ke bandara Soeta. Pukul 01.30 WIB bus pun meluncur di jalanan Jakarta yang lengang.



Bandara Soekarno Hatta, 15 Juli 2009 Pkl. 02.30

Kami sampai di Bandara Soekarno Hatta kurang lebih satu jam berikutnya. Bus kuning yang kami naiki melaju kencang diatas jalanan ibukota yang sepi. Kami langsung menurunkan barang-barang bawaan pribadi dan kelompok. Dengan koper, saya merasa bawaan saya lebih ringan dibandingkan dengan teman-teman yang memakai carrier, padahal panitia menyarankan kami semua agar menggunakan tas ransel besar/carrier saja supaya lebih mudah dibawa. Setelah siap semua, kami harus menunggus ampai gate dibuka. Kami akan menggunakan Lion Air penerbangan ke Manado pkl. 05.00. Sambil menunggu, beberapa dari kami bermain UNO banyak juga yang memanfaatkan waktu singkat itu untuk tidur. Anak-anak K2N bergeletakan dilantai berbantalkan ransel mereka.

Soeta, 15 Juli 2009 Pkl. 05.00

Pesawat Lion Air yang kami naiki akhirnya terbang juga. Sebagian besar mahasiswa tidur sepanjang perjalanan namun setelah kurang lebih terbang selama 2 jam kami berada diatas daratan pesisir Sulawesi yang tampak indah terkihat dari atas pesawat kami. Semakin ke utara kami bisa melihat pantai bunaken sebelum akhirnya pesawat mendarat di bandara sam ratulangi manado.

Bandara Sam Ratulangi, Manado 15 Juli 2009 pkl 10.00 WITA

Tiba di bandara kami langsung disambut oleh beberapa anggota TNI berpakaian dinas. Acara K2N UI ini memang didukung penuh oleh panglima TNI, berbagai fasilitas, transoprtasi dan keamanan dari TNI selalu mengawal kami selama berada di perjalanan dan di Miangas. Di luar bandara sudah disiapkan sekitar 8 bis TNI berwarna hijau tua untuk membawa kami ke Gedung Yos Sudarso, Manado untuk melakukan acara pelepasan peserta K2N 2009. Pawai bak orang penting pun baru sekali ini saya rasakan, dikawal 4 motor polisis di depan, iring-iringan bis-bis kami bebas melaju dengan kencang. Di dalam bis kami sudah bisa merasakan panasnya cuaca Manado. Hanya sekitar 20 menit sampai akhirnya kami sampai di tempat pelepasan peserta K2N 2009.


Gedung Yos Sudarso, Manado 15 Juli 2009 Pkl. 11.00 WITA



Di gedung yos sudarso, kami mendengarkan beberapa sambutan dari Rektor UI, Bpk Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri yang berpesan untuk melakukan program secara maksimal untuk masyarakat perbatasan, kemudian dari Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud, dr. Elly Lasut serta Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Sulawesi Utara mewakili Gubernur Sulut. Setelah seremonial tersebut kami break solat, makan siang dan dilanjutkan dengan pengarahan dari TNI terkait Miangas dan perjalanan yang akan dilalui menggunakan KRI, acara berakhir sekitar pulul 15.00 WITA. Setelah acara tersebut rombongan langsung melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Bitung selama kurang lebih satu jam perjalanan.



Pelabuhan Bitung, 15 Juli 2009 Pkl. 16.00

Tiba di pelabuhan Bitung, kami langsung menuju kapal TNI yang akan mengangkut rombongan ke Pulau Miangas, yaitu KRI teluk Cendrawasih. Setelah memasukkan barang-barang kami ke kapal yang sangat besar itu kami menunggu di luar karena kapal masih perlu mengisi bahan bakar dan memakan waktu hamper 1 jam. Kami melakukan upacara pemberangkatan di pelabuhan Bitung dekat KRI Teluk Cendraeasih bersandar. Seremoni ini biasa dilakukan para awak kapal dari TNI AL sebelum melakukan perjalanan. Komandan KRI menjelaskan situasi cuaca secara umum dan lamanya perjalanan yang akan kami tempuh serta aturan-aturan di dalam KRI yang patut ditaati oleh semua warga sipil yang ikut perjalanan di dalam KRI. Dengan KRI kami hanya membutuhkan 19 jam perjalanan apabila cuaca dan ombak sedang baik, jika ombak tinggi akan lebih lama lagi karena arus yang kuat menahan laju KRI. Selesai upacara kami langsung masuk ke dalam KRI.

KRI Teluk Cendrawasih, 15 Juli 2009 Pukul 18.30

Karena lelah setelah mengangkut barang dan perjalanan sepanjang hari, tidak seperti yang lainnya yang berfoto di buritan, saya memilih mengistirahkan diri. Kamar pria berada di bawah dekat dengan ruang mesin dan bahan bakar, sebetulnya itu memang ruangan mesin namun ditaruh beberapa ranjang lipat TNI untuk kami. Kami memaklumi, karena kamar-kamar di KRI ini penuh oleh siswa-siswi SMA se-Sulawesi Utara yang sedang melakukan acara berlayar bersama TNI dalam rangkaian acara Sail Bunaken 2009. Alhasil, kamar kami sangat panas dan berisik, entah bagaimana caranya saya tetap bisa tidur di bawah.

KRI Teluk Cendrawasih Pukul 21.00 WITA



Saya terbangun mendadak karena pusing bukan kepalang, ombak kencang mengocok-ngocok perut saya. Karena tidak tahan ingin muntah ditambah perut keroncongan saya naik ke kantin di bagian atas kapal untuk makan. Disana sudah banyak peserta K2N yang makan. Menunya nasi ditambah ikan bakar cakalang yang nikmat sekali, walaupun tidak ada lauk lain. Kondisi di tengah laut membuat apapun makanan yang masuk ke perut terasa nikmat. Saya makan sambil mengobrol di tengah kapal yang terombang-ambing. Beberapa teman menceritakan siapa-siapa saja peserta yang sudah tewas alias mabuk laut. Setelah makan saya naik ke buritan menikmati pemandangan malam di tengah laut sembari merasakan terpaan angin yang cukup kencang. Saya belum sempat keliling kapal, toh masih ada besok pagi piker saya. Namun dari atas buritan saja saya sudah bisa melihat betapa besar dan beratnya kapal ini. Dengan beberapa teman saya berdiskusi mengenai kenapa kapal yang berat tidak tenggelam di laut. Saya anak IPS jadi mungkin memang lupa teori tekanan ke atas dan teori gravitasi di air laut. Lalu kami menyanyi diiringi dengan gitar sambil tiduran dan menatap bintang yang bertaburan. Ini pertama kalinya saya naik kapal dan langsung naik kapal perang TNI! Woow! Luar biasa.



KRI Teluk Cendrawasih 16 Juli 2009 Pukul 05.00 WITA


Saya semalam tertidur diatas buritan bersama Mario, Afif dan teman-teman lainnya. Saya terbangun pukul 05.00 WITA karena menggigil. Udara pagi sangat dingin menusuk kulit walaupun saya tidur dengan memakai jaket dan sarung. Kemudian saya naik ke bagian yang lebih atas dari KRI ini dan menantikan pemandangan sun rise dari atas kapal. Beberapa teman bergabung. Tak lama, semburat merah jingga muncul di timur, luar biasa indahnya. Kami berdecak kagum menyaksikan semua itu, saya sampai lupa mengambil kamera di ruang mesin tempat kamar pria-pria. Setelah puas dengan sun rise saya pergi untuk mandi. Nah, jangan heran kalau disini kamar mandi pria itu mirip pemandian umum. Ruangan dan baknya besar dan ada beberapa bilik toilet yang hanya ditutup oleh tirai transparan. Begitu saya masuk, ada beberapa orang yang sedang mandi, saya pun cuek langsung membuka baju dan mandi. Lumayan segar mengingat seharian kemarin badan saya sama sekali tidak menyentuh air.

KRI Teluk Cendrawasih 16 Juli 2009 Pukul 13.00



Selepas makan siang, saya menyempatkan berkeliling kapal KRI. Ternyata di dlamnya terdapat banyak sekali ruangan dengan fungsi yang bermacam-macam juga. Komandan KRI teluk cendrawasih pada perjalanan ini adalah Mayor Baroyo Eko Basuki. Dari informasi umum yang bisa dilihat di ruang komando, KRI teluk Cendrawasih bernomor 533 ini merupakan buatan Jerman berjenis Frosch-I/type 108 yang dibeli pemerintah Indonesia untuk TNI AL pada tahun 1994 pada masa pemerintahan Soeharto.


Berat kapal ini 1.900 ton dengan dimensi 90,70 m x 11,12 m x 3,4 m, ditenagai oleh 2 mesin diesel yang mampu mengahsilkan 12.000 bhp dan sanggup mendorong kapal hingga kecepatan 18 knot. Diawaki oleh maksimal 42 pelaut dan mampu mengangkut kargo hingga seberat 600 pon.

KRI teluk cendrawasih menurut salah satu kru yang bertugas bukan merupakan armada tempur maupun pemukul, tetapi pengangkut logistik. Namun, untuk pertahanan KRI ini dipersenjatai oleh satu kanon laras ganda caliber 37 mm model 1939, 1 meriam bofors 40/70 berkaliber 40 mm dengan kecepatan tembakan 120-160 rpm jangkauan 10 km untuk target permukaan terbatas dan target udara serta dua kanon laras ganda caliber 25 mm.


KRI Teluk Cendrawasih 16 Juli 2009 Pukul 15.00

Pulau Miangas sudah terlihat dari jauh. Waaaw! Kami melakukan briefing bersama para dosen pendamping diatas KRI. Kami diminta bersiap-siap karena kurang lebih 2 jam lagi kapal bisa merapat di dermaga Miangas. Saya terheran-heran, mengapa sampai dua jam? Padahal pulau Miangas sudah terlihat dengan jelas. Ternyata itu jaraknya masih sangat jauh, kalau di laut kita sudah melihat Pulau di depan kita bukan berarti jarak kita sudah dekat.


Kami juga dikabari oleh dosen bahwa aka nada penyambutan dari masyarakat Miangas yang sudah siap dari siang tadi. Setelah briefing saya membereskan barang-barang pribadid an langsung naik ke atas lagi. Beberapa teman sedang ikut berkaraoke bersama anak-anak SMA yang ikut jelajah maritime bersama AL. Saya pun menyumbangkan lagu, jarak ke Miangas semakin dekat namun, KRI hanya berputar-putar mengelilingi pulaunya. Belakangan saya tahu ombak besar tidak memungkinkan kapal untuk bersandar karena takut tergoresang-karang tajam di bawah laut dan bisa menimbulkan kebocoran.

KRI teluk Cendrawasih Pukul 18.00




Kapal merapat namun ombak yang kencang menyulitkan proses pemindahan barang dan manusia ke pulaunya. Kapal KRI yang tinggiberjarak sekitar 1-2 meter dari dermaga. Peserta laki-laki langsung diminta loncat ke dermaga. Sementara yang perempuan perlu dibantu oleh beberapa orang untuk meloncat. Warga sudah banyak yang membantu proses pemindahan barang. Untuk drum-drum berisi minyak tanah di lempar ke laut dan di bawa oleh beberapa anggota ke pantai melalui laut. Ombak yang besar membuat KRI terguncang-guncang dan beberapa kali menabrak dermaga sehingga terasa bergoyang. Alhamdulillah, semua mahasiswa akhirnya berhasil menginjakkan kaki di dermaga Miangas, walaupun ada beberapa yang terkilir kakinya. Sambil menunggu proses penurunan barang, saya sempat didatangi beberapa orang pemuda setempat, saya tersenyum. Mereka tampak tidak sungkan mengenalkan diri dan berbicara dengan pendatang. Saya berkenalan dengan Kiki, Yono dan Markus yang belakangan banyak membantu saya beradaptasi dengan warga lokal dan menyukseskan program-program kami.

Dermaga Miangas Pukul 19.00 WITA



Dengan suasana temaram, kami disambut dengan upacara penyambutan oleh para mangkubumi ( tetua adat Miangas ) yang berjumlah delapan orang memakai kain menyerupai jubah putih panjang bergaris merah dan ikat kepala berwarna merah yang merupakan pakaian adat pria Miangas. Setelahnya kami langsung diarak menuju pendopo kecamatan yang berada disisi lain Pulau Miangas. Jaraknya dari dermaga sekitar 100 meter. Dalam perjalanan menuju kesana kami disuguhkan pemandangan rumah-rumah semi permanen masyarakat Miangas, beserta beberapa warga yang berbondong-bondong mengikuti kami ke pendopo. Kami berusaha berbaur dengan mereka. Awalnya sedikit sulit mencerna kata-kata mereka karena mereka berbicara dengan cepat, logat yang khas dan bahasa gado-gado Indonesia-Miangas. Lama kelamaan kami terbiasa mendengar logatnya dan berusaha mengikuti bahasa mereka untuk mempermudah komunikasi.

Pendopo Kecamatan Pukul 20.00 WITA




Sesampainya di Miangas kami disuguhi berbagai penganan lokal yang rasanya langsung membuat saya jatuh cinta. Cita rasa asin pedas khas Sulawesi Utara itu membuatkami ketagihan, apalagi belakangan kami sering sekali makan masakan rumah yang kebanyakan adalah sea food. Setelah berkenalan dengan pejabat kecamatan dan desa, serta pengurus gereja. Kami langsung diminta ke rumah yang sudah disiapkan dan berkenalan dengan keluarga baru kami di Miangas.

Saya bersama Adrian menempati rumah Asher, yang tinggal bersama mamak, adiknya Markus beserta istri. Rumah tembok semi permanen itu cukup nyaman bagi saya dan Adrian. Ruang tamu hanya berisi 4 buah kursi plastic dan meja, jendela tanpa kaca sehingga angin bisa masuk ke dalam rumah, lantai semen kasar sehingga kami harus memakai alas kaki ke dalam rumah, satu dapur beralaskan tanah dengan perapian tradisional dan satu kompor minyak serta satu kamar mandi dan satu jamban yang letaknya bersebelahan.




Setelah mengobrol dan berkenalan saya pun pamit tidur karena sudah tidak kuat menahan kantuk yang menyerang. Sebelum tidur saya tersenyum sendiri, mengenang semua perjalanan saya yang luar biasa sehingga bisa sampai Miangas dan sekarang saya sudah menginjakkan kaki di tanah Opa Mura, semuanya tidak seburuk yang saya bayangkan. Semua berjalan baik sejauh ini, saya pun berdoa semoga semua program-program K2N kami bisa berjalan dengan baik tanpa hambatan berarti dan bisa mendatangkan kebermanfaatan bagi masyarakat Miangas.

Saya, K2N dan Perbatasan


Di tulisan sebelumnya saya pernah bercerita tentang kuliah Prof Sri-Edi Swasono ( mantan Kepala Bappenas) yang menanyakan letak beberapa pulau terdepan di Indonesia. Tidak ada satu pun di kelas saya yang bisa menjawab, termasuk saya. Nama-nama tersebut sangat asing di telinga saya, seperti Miangas, Meos Befondi, Waingapu, dan yang lainnya. Sejak saat itu saya malu sebagai orang Indonesia yang tidak mengenal dengan baik negeri saya sendiri. Saya yang tergabung dalam organisasi gerakan di kampus tidak terlalu peduli dengan isu pulau-pulau terdepan dan perbatasan, padahal isu-isu kenaikan BBM, Badan Hukum Pendidikan, Anggaran Negara, Kemiskinan dan isu-isu nasional lainnya selalu di bahas di forum-forum aksi strategis organisasi kampus. Lantas, siapakah rakyat Indonesia yang diperjuangkan hak-haknya oleh para mahasiswa, hanya orang Jawa kah? Hanya masyarakat yang kita kenal kah? Tidakkah kalian tahu bahwa masyarakat yang jauh di pelosok sana ternyata juga butuh perhatian? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengganggu pikiran saya. Saya ingin melakukan aksi nyata, pengabdian sosial yang bisa meringankan beban masyarakat secara langsung, tidak melalui aksi-aksi negosiasi dengan pemerintah, aksi demonstrasi di jalanan serta berbagai lobi-lobi dengan anggota dewan yang biasa saya lakukan bersama organisasi di BEM. Aksi-aksi tersebut hanya berhasil memblow-up isu di media namun sasaran yang diharapkan sulit dicapai.

Saya semester 4 ketika itu, ada pengumuman di fakultas mengenai Kuliah-kerja Nyata UI di Pulau Miangas. Seketika saya terkesiap, teringat pertanyaan-pertanyaan di kelas Pak Edi, saya berpikir ini kesempatan itu. Kesempatan untuk mengenal masyarakat yang tinggal di Pulau terdepan, kesempatan untuk melihat sendiri keadaan masyarakat di tapal batas, saya harus mendaftar. Pikiran saya kala itu hanya satu, saya harus ikut K2N di Pulau Miangas. Sejenak saya terpaku pada persyaratan, min. memperoleh 90 sks, berarti setara dengan mahasiswa semester 6, saya sendiri baru 84 sks kala itu. Sedikit putus asa, saya beranikan diri untuk tetap mendaftar. Essai mengenai program yang direkomendasikan sesuai jurussan saya sudah disiapkan, formulir dan transkrip beserta foto juga sudah siap. Dengan modal nekad saya masukan seluruh berkas ke Pusat Pelayanan Mahasiswa Terpadu (PPMT) Rektorat UI.

Tak disangka, saya lolos seleksi administrasi dan mendapat panggilan interview, pada tanggal yang ditentukan saya diinterview oleh Bapak Drs. Priadi Primadi, M.Si, yang akrab disapa Mas Pri yang juga sebagai ketua panitia K2N UI 2009. Isi wawancara lebih kearah gambaran mengenai program K2N serta essai yang telah dibuat. Mas Pri banyak mempertanyakan visibilitas rekomendasi program Strategic Business Unit yang saya ingin terapkan disana. Beliau memaparkan gambaran kondisi di Pulau Miangas yang didapatnya dari Pos AD di sana. Disitus saya cukup pesimis karena Nampak Mas Pri tidak pusa dengan jawaban-jawaban yang saya kemukakan. Lalu pertanyaan beralih ke masalah keahlian berenang, pengalaman naik kapal laut dan hal-hal teknis lainnya. Saya iyakan semua pertanyaan karena sebetulnya yang diinginkan adalah apakah kita benar-benar siap berangkat kesana dan menanggung semua risikonya. Sebagaimana diketahui perjalanan ke Miangas yang paling berat adalah dari pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara menuju Miangas harus menggunakan kapal perintis selama 3 hari atau kapal KRI milik TNI AL selama kurang lebih 24 jam dengan kondisi ombak yang tinggi dan cuaca yang tidak bisa diprediksi sepanjang bulan Juli.

Kira-kira dua minggu sampai akhirnya saya dinyatakan lolos sebagai peserta K2N di Miangas. Saya senang bukan main, yang saya pikirkan adalah bahwa saya berkesempatan berbagi ilmu dan juga belajar dari masyarakat di perbatasan sana. Saya sampai lupa bahwa, K2N ini adalah mata kuliah 3 sks yang tentu saja akan berakhir dengan nilai A, B, C, D atau E di SIAK NG saya. Saya mengikuti pembekalan selama kurang lebih satu bulan mengenai program, pengetahuan geopolitik, pertahanan serta berbagai isu perbatasan. Pemateri didatangkan dari kementrian pertahanan, panglima TNI, ahli sejarah dan pemerhati perbatasan. Saya senang luar biasa mendapatkan materi-materi yang barangkali tidak bisa didapatkan dari tempat lain. Saya sadar pentingnya menjaga keutuhan NKRI agar tidak ada kasus sengketa perbatasan yang merugikan bangsa sendiri sebagai mana terjadi untuk kasus lepasnya pulau sipadan dan ligitan serta ambalat. Dari situ saya juga tahu ada yang namanya universitas pertahanan, jenjang S2 dibawah kementrian pertahanan. Saya menjadi sedikit banyak tertarik untuk ikut program S2 di Universitas Pertahanan, siapa tahu bsia jadi mentri pertahanan kalau tidak bisa jadi mentri ekonomi, begitu pikir saya.

Sementara untuk program kelompok saya mendapat tugas mengajar bahasa inggris untuk anak-anak serta pelatihan manajemen koperasi. Semua materi kelompok harus dipersiapkan sendiri. Saya bekerja sama dengan kementrian KUKM dalam persiapan pelatihan koperasi terutama proses pendirian koperasi. Untuk program English for Children and Tourism kami menyusun sendiri silabusnya berdasarkan buku-buku yang ada. Satu bulan di Miangas mengajarkan banyak hal bagi saya, bagaimana sulitnya hidup di daerah terisolir, akses komunikasi sangat terbatas, transportasi keluar pulau 2 minggu sekali, listrik hanya menyala 6 jam di malam hari, sulitnya mencari makanan di saat cuaca buruk dimana nelayan tidak melaut dan kapal yang membawa bahan makanan dari luar pulau juga tidak berlayar, bosannya hidup tanpa hiburan dan bertemu dengan orang yang itu-itu saja. Aaakh, saya dan teman-teman lain tentu banyak belajar.

Satu yang membuat kami bangga adalah, mereka ternyata lebih cinta dan bangga dengan bangsa Indonesia dibandingkan kita yang justru ada di pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Mereka lebih menyenangi bersenandung lagu-lagu nasional dibandingkan lagu-lagu pop yang bisa mereka lihat dari TV pada saat lampu menyala, mereka lebih khidmat melaksanakan upacara bendera setiap tanggal 17 Agustus disbanding saya yang bahkan hanya melihat prosesinya dari televisi, mereka lebih semarak dan bersuka cita mengikuti berbagai lomba 17an disbanding saya yang bahkan lebih memilih untuk tinggal di rumah daripada mengikuti acara semacam itu. Ya, kami datang berharap bisa menularkan rasa nasionalisme kami kepada mereka, yang terjadi adalah kami yang belajar semangat nasionalisme dari mereka.Terima kasih manambo nambo Miangas, Mao Yapalulu Miangas.

Contact Me

Saya senang berdiskusi dan bertukar informasi dengan semua orang.
Silakan mengirimkan surat, email, wall FB maupun mention twitter untuk
saling berbagi ide, brainstorming maupun sekedar bergosip maupun obrolan santai
dengan saya.


Adhi Rachman Prana
Jalan H. Yahya Nuih No.23 A Pondok Cina
Depok, Jawa Barat
Email : rachman.adhiprana@gmail.com
Twitter : @adhicihuy
FB : Adhi Rachman Prana

Tentang K2N UI 2009

Universitas Indonesia untuk pertama kalinya mengadakan kuliah kerja nyata di luar Pulau Jawa. Tidak tanggung-tanggung, daerah yang dipilih sebagai target berbagai program K2N ini merupakan pulau kecil di ujung utara Indonesia, yaitu Pulau Miangas yang berbatasan dengan Filipina. Mengusung tema “Dengan kuliah kerja nyata kita amalkan tri dharma perguruan tinggi dan Kita Tingkatkan Semangat Nasionalisme untuk menjaga NKRI”, diharapkan kedatangan rombongan mahasiswa Universitas Indonesia di Pulau Miangas, bisa meningkatkan semangat nasionalisme di perbatasan yang selama ini masih kurang diperhatikan oleh pemerintah.

K2N sendiri merupakan salah satu kegiatan yang mampu mengantarkan mahasiswa menjadi individu yang lengkap, baik dalam penguasaan ilmu, kemampuan menganalisa masyarakat sekitar, serta memberikan solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial, ekonomi maupun politik sesuai keilmuan yang mereka miliki. Disamping itu, melalui kegiatan ini mahasiswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam berbagai hal, seperti kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar yang baru, memunculkan kepedulian mahasiswa terhadap berbagai perkembangan yang setiap saat muncul, meningkatkan rasa nasionalisme, meningkatkan jiwa kristis dan kemudian melakukan kegiatan penelitian dan lain sebagainya.

Universitas Indonesia sebagai universitas yang menyandang nama negaranya memiliki beban tersendiri untuk bisa mengabdikan ilmu kepada masyarakat Indonesia di seluruh pelosok tanah air. Untuk itu melalui program ini UI mempunyai misi menjadikan mahasiswanya sebagai anggota masyarakat yang memiliki kemampuan professional, keterampilan, kepemimpinan yang tanggap terhadap kebutuhan pembangunan bangsa dan Negara serta mempunyai kemampuan memotivasi masyarakat dalam mengisi dan mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia. K2N UI tahun 2009 yang dilaksanakan tanggal 13 Juli- 18 Agustus 2009 ini merupakan bentuk pengabdian UI kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).




Dalam prakteknya di lapangan tim K2N UI yang berjumlah 71 mahasiswa dibagi ke dalam 7 kelompok yang mengusung program yang berbeda-beda. Kelompok 1 (Hasanudin) membawa program Pemberdayaan Kuliner Laut, kelompok 2 (Gatot Subroto) mengusung program pengembangan potensi pariwisata Miangas, kelompok 3 (kelompok penulis-red) Yos Sudarso melaksanakan program Pelatihan Bahasa Inggris dan Pelatihan Manajemen Koperasi, Kelompok 4, Pattimura melaksanakan program Kreasi Makanan Ringan dari Sumber Daya alam Pulau Miangas, Kelompok 5, Sam Ratulangi menyampaikan program Pengembangan Kerajinan Tangan, kelompok 6 ( Christina Martha Tiahahu) menjalankan program maksimalisasi budidaya pohon kelapa, kelompok 7 ( Bung Karno) melaksanakan program pemberdayaan wanita melalui tata rias dan tata busana. Selain program-program tersebut yang menjadi tanggung jawab kelompok, masing-masing kelompok juga harus melaksanakan program rutin yang pelaksanaanya dilakukan secara bergiliran. Ada tujuh program rutin yang dijalankan, yaitu program rumah baca sahabat nusantara, mendongeng dan bermain permainan tradisional anak, melayani lansia dan menjenguk orang sakit, penyuluhan hukum, penyuluhan kesehatan dan gizi untuk perempuan, penyuluhan kebersihan untuk anak sekolah, serta penyuluhan kesehatan lingkungan ( pemanfaatan peakarangan ) untuk remaja pria dan Bapak-bapak.

Friday, June 10, 2011

Jazz Experience at 33rd JGTC

Jazz goes to campus (JGTC) FEUI merupakan event jazz yang selalu saya nantikan tiap tahunnya. Harga tiket yang murah, lokasi yang dekat serta berbagai musisi jazz berkualitas selalu ditampilkan di acara ini. Sebagai mahasiswa FEUI, saya lebih tertarik menjadi penonton dan menikmati setiap konsernya dibandingkan bergabung di kepanitiaan ini. Pilihan yang aneh mungkin, karena bagi mahasiswa FEUI adalah suatu kebanggaan menjadi bagian dari acara terbesar FEUI.

JGTC terakhir (2010) merupakan kali ke-33 FEUI menggelar event konser musik jazz di kampus. The 33rd JGTC menjunjung tema “Unleash the Jazz Within” sembari menyandang empat nilai utama yaitu welcome-experience-educate-enjoy. Acara yang digalang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FE UI ini juga mendapat dukungan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Dari pertama masuk ke FEUI tahun 2007 silam, 33rd JGTC tahun lalu menjadi konser JGTC terfavorit saya. Bukan karena yang menyelenggarakan kebetulan angkatan saya, melainkan kejeniusan mereka dalam membuat sesuatu yang baru dan menyegarkan lah yang patut diacungi jempol. Konsep 4 buah panggung membuat penonton lebih tersebar dan kenyamanan menikmati alunan musik jazz menjadi lebih baik. Selain itu, saya salut dengan ide Mawar Merah Tribute to Slank; An All Female Ensemble yang terdiri atas Dira Sugandi, Kikan Namara, Ghea “Idol”, Sashi “Drew”, Tika Jahja, Astrid Basjar, serta DJ Delizious Devina. Sesuai tajuknya, mereka akan hadirkan lagu-lagu dari band beraliran cadas yang digemari berbagai lapisan masyarakat. WOW! saya sempat tercengang melihat kemunculan Kaka Slank di panggung.

Alasan saya selalu ikut JGTC adalah hunting foto. Sebagai penggemar fotografi dan musik jazz mengabadikan moment musisi di atas panggung menjadi kepuasan sendiri. Beberapa foto yang berhasil terekam Nikon D300 saya ditampilkan di bawah ini.

Endah N Ressa

Mawar merah untuk Slank.

Trie Utami

Maliq & d'essentials

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More