Hari minggu sepulangnya dari Muara Enim setelah berkooordinasi dengan Dinas Pendidikan, aku senang sekali. Kali ini kepulanganku membawakan sesuatu yang berharga buat anak-anak Talang Tebat Rawas, dimana mayoritas anak-anak sekolahku tinggal. Bukan kawan! Bukan satu kotak cokelat seperti yang engkau pikirkan, bukan pula beberapa bungkus permen yang disenangi anak-anak. Jauh lebih bernilai daripada berbagai kudapan yang sudah kusebutkan. Surat kawan! Ya, surat untuk anak-anak sekolahku dari Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur!! Pengirimnya Rian Ernest, pengajar muda 2 yang juga sempat kutemui bersama Mario dan Dhini saat open house IM sebelum PM 2 berangkat. Surat itu sampai bulan Juli, sedangkan suratnya ditulis pada bulan Mei. Wah, awalnya aku berpikir lambat sekali surat tersebut sampai ke Muara Enim. Namun melihat bagian depan suratnya, saya paham. Mungkin ini memang sesuai dengan harga perangko Rp.5000 yang tertempel di muka amplop. Pantas kurang lebih 2 bulan baru sampai suratnya. (haha Rian ini, kirim surat dari Rote,NTT ke Sumsel kok disamain sama harga naik bus dari Depok-Blok M di Jakarta :D) Hari Senin itu aku masuk ke sekolah dengan riang, sengaja aku belum membuka amplop putih tebal itu. Aku ingin membukanya bersama kelima belas anak di kelasku yang selalu memberikan kejutan-kejutan menyenangkan setiap waktunya (tentunya diselingi juga dengan kejutan menyebalkan dari mereka :D). Dalam perjalanan ke sekolah aku sudah membayangkan bagaimana ekspresi anak-anakku bergitu tahu mereka mendapatkan surat pertama seumur hidup mereka. Teringat dua minggu sebelumnya, saat aku masih mengenalkan apa itu surat kepada mereka, serta menjelaskan manfaatnya mereka tampak masih tidak percaya kalau mereka bisa punya sahabat pena di daerah-daerah yang jauh. “Waaah, masa sih Pak, kita bisa punya kance uwang Papua?” “Bapak nganterin suratnya sendiri kesana ya Pak naik kapal?” “Paak..susah Pak buat surat Paak” Dan berbagai pertanyaan dan rengekan-rengekan lainnya. Kini dalam beberapa menit saja aku akan tahu, seperti biasanya ketika mereka menemukan bukti atas suatu pengetahuan mereka akan mengangguk-anggukan kepalanya dengan semangat. Sambil kadang-kadang berucap “ Oooh.. iya ya Pak.. betul ya pak..”. Setelah berdoa dan menyanyikan lagu 9 tanda senyum sebagai pengingat peraturan sekolah, aku pun mulai membuka pelajaran Bahasa Indonesia pada siang itu dengan mengacungkan ke atas amplop surat itu. “Ada yang tahu benda apa yang Bapak pegang?” Aku melihat ke sekeliling kelas seandainya ada tangan-tangan mungil terangkat disana. “Ya, Apa Imam?” kutunjuk bocah mungil di pojok kanan yang mengacungkan tangannya malu-malu “UANG PAK!!” teriaknya, aku pun menggeleng. Anak-anak lain tertawa. “Buku, Pak!!”, seorang anak menjawab. Aku masih menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. “Kertas, Pak?” “Pensil, pak..” “Gambar Pak”.. kelas jadi riuh dengan berbagai terkaan anak-anak yang semakin ngawur, seperti acara kuis Nico Siahaan dulu di televisi (Apa ini Apa Itu-red). “Oke..cukup-cukup..” potongku mencoba mengendalikan kelas. Kupancing dengan stimulus keterangan berikutnya “ Lihat ini di depannya ada kertas kotak kecil bertuliskan angka-angka.. ini sudah Bapak jelaskan namanya apa ?” “Prangko Pak”, Letri yang memang punya daya ingat paling baik menjawab “Bagus Letri! Naah kalau ada perangko berarti ini apa?” pancingku lagi. “Suraaat Pak “ beberapa anak menjawab serempak. Sisanya masih terbengong-bengong. “Bagus Anak-anak. Ini namanya Surat!! Tepuk hebat dulu untuk kalian semua “ kataku mengapresiasi. “Prok..prok..prok YES..prok..prok prok..YES...prok prok prok KAMU HEBAT!!” mereka tertawa setelah kompak saling memberi apresiasi dengan tepukan tangan. Aku pun melanjutkan penjelasanku tentang surat dari Rote Ndao, mereka tampak bersemangat. Matanya berbinar terpaku pada kertas persegi panjang berukuran 10x20 cm itu. Tanpa diminta, semuanya sudah mengerubungi meja saya. Sambil ribut dan berusaha melihat bentuk surat yang mereka terima. Sebelumnya akupun meminta mereka melihat di peta yang dipasang di depan kelas, dimana Rote Ndao itu. Anak-anak sibuk mencari, kurang dari 1 menit sudah kembali berteriak-teriak “Ini Paak..ini Paaak di bawah”. Sambil loncat-loncat mereka menunjukkan satu titik di ujung selatan peta Indonesia. “ Nah..betul sekarang kalian baca dulu masing-masing suratnya, karena hanya ada 12 jadi ada yang berdua-berdua “ . Begitu instruksiku kepada mereka. Dengan patuh mereka duduk di kursi dan membaca surat dengan suara keras dan masih sedikit mengeja. Tapi yang paling menyenangkan adalah melihat mereka terkejut atas apa yang temannya tulis. Seorang anak yang memang masih belum lancar membaca tiba-tiba terkaget-kaget. " Aiiih, Pak.. ngapeu ini anak gala jadi orang gila?", seru Adit terheran-heran. Ia membaca tulisan seorang anak Rote yang bercita-cita ingin menjadi orang gila. Praktis anak-anak lain langsung mengerubungi meja Adit dan mengiyakan lalu tertawa terbahak-bahak. "Ah, masa? coba kamu baca lagi yang betul Adit", kataku sembari menghampirinya. Setelah kulihat, sekilas memang tulisannya seperti kata gila, namun ternyata itu adalah Guru. Huruf u nya dibuat hampir seperti huruf A. "Nah, ini kan maksudnya Guru, Adiit.. makanya kalian kalau menulis harus jelas juga dan mudah dibaca yaa..", ujarku. Ada lagi hal unik lain yang mereka dapatkan. Seperti salah seorang anak menuliskan makanan kesukaannya daging babi, seorang anak langsung berteriak memberitahu kawannya “Ooooi, ada yang suka makan daging babii!!” Aku pun menjelaskan. “betul anak-anak, mayoritas teman-teman kita disana memang makan babi, karena agama mereka Kristen. Nah kalau kalian kan tidak boleh karena dilarang oleh ajaran Is..” “laaaam” anak-anak melanjutkan. “Oooh di kita banyak Pak babi hutan, tapi dek ngatek uwang makan. Kita kasih buat mereka di Rote saja ya Pak “ Rusli seorang anak kelas 5 menyarankan “Oii susah oii, masa mau kirim babi ke rote?! ” kata Angga disambut tawa riuh di kelas itu. Aku senang, mereka bisa menerima perbedaan dengan positif, bahkan ada anak yang menawarkan supaya babi hutan yang sering sekali berkeliaran di hutan sekolah dan merusak umah mereka diberikan saja untuk anak-anak di Rote supaya dimakan. Memang disini biasanya babi hutan ditembak untuk dibunuh karena merusak ladang. Tapi tidak pernah dimakan karena semua warga di Talang kami adalah muslim. “ Nah, sekarang kalian tahu kan, mereka berbeda agamanya, tapi kalian harus saling menghormati dan tetap berteman dengan mereka. Ingat apa semboyan negara kita?” Lanjutku menjelaskan “Bhineka Tunggal Ika” ujar Juhanda, “Artinya berbeda tapi tetap satu, Pak..” lanjut Malsi “Bagus anak-anak! Sekarang karena mereka sudah memberi wawasan baru tentang agama mereka kalian juga buat surat balasan ya. Isinya bebas, tapi lebih baik ceritakan kegiatan kalian saat ini. Kan kalian puasa, mereka tidak, Coba jelaskan puasa itu apa ke mereka supaya paham.” Terangku. “Jadi ya Pak cerita Lebaran?” Angga bertanya “Jadi.. laju lah mulai..” Seketika kelas sibuk dengan anak-anak yang menulis surat balasan. Terkadang diselingi cekikikan melihat foto-foto anak-anak eksotis dari ujung selatan itu. Bahkan beberapa anak laki-laki di kelasku menukar suratnya dnegan temannya supaya bisa mendapatkan kawan perempuan. (Halah! Tidak heran aku dengan bocah-bocah melayu ini :D) Aku pun meminta mereka membuat gambar untuk kawan-kawannya di Rote. Mereka lalu berinisiatif pula membuat tulisan we love rote di kertas plano untuk difoto dan dikirimkan kepada kawan-kawannya di perbatasan sana. Bagi mereka, pengetahuan bisa didapat dari mana saja. Melalui surat, khususnya program Jejaring Anak Indonesia yang diinisiasi oleh Indonesia Mengajar, mereka bisa saling menceritakan kondisi satu sama lain, kebudayaan mereka, kebiasaan mereka dan kondisi geografis mereka. Diharapkan semangat kebangsaan dan kebersamaan sebagai Bangsa Indonesia bisa terus tumbuh dan berkembang di hati sanubari anak-anak ini. Tenun kebangsaan sudah mulai kami rajut di talang tebat rawas ini, tinggal melihat hasil rajutan berupa kain tenun indah yang mempersatukan tunas-tunas bangsa ini di seluruh nusantara.
0 comments:
Post a Comment