Napak Tilas 10 Tahun Timor Leste Merdeka

Bagaimana kondisi Timor Leste setelah 10 tahun lepas dari NKRI saat ini? Penulis berkesempatan mengunjungi negeri Xanana Gusmao pada tahun baru 2013 lalu

Kisah Pengajar Muda Muara Enim : Setahun untuk Selamanya

Pengalamanku sebagai guru bantu di pelosok Muara Enim merupakan pelajaran berharga bagi saya. Saya akan membagi kehebatan anak-anak di Talang Tebat Rawas ini yang begitu menginspirasi saya sebagai seorang guru

Menjelajahi Ujung Selatan Indonesia, Pulau Rote Ndao dan Pulau Ndana

Pulau Rote Ndao menyimpan kekayaan alam dan budaya yang sangat potensial. pantai-pantai indah yang belum terjamah oleh manusia beserta keunikan geografis pulau rote ndao menjadi daya tarik tersendiri. Simak berbagai pengalaman saya dan tim Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia tahun 2010 di Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.

Miangas : Eksotika Pulau Paling Utara Indonesia

Pulau miangas yang berada di garda terdepan Indonesia berbatasan dengan Filipina menyimpan pesona keindahan yang layak untuk dinikmati. Berikut kisah kami tim Kuliah Kerja Nyata (K2N) UI di Pulau Miangas tahun 2009

Pesona Pulau Sempu, Malang

Menikmati suasana pulau tak berpenghuni di Pulau Sempu sangat mengasyikan. Menikmati malam penuh bintang dan tidur di pasir Laguna sambil menatap bintang dan minum kopi panas menjadi alternatif liburan yang menarik

Friday, September 14, 2012

Surat Pertama Mereka

Hari minggu sepulangnya dari Muara Enim setelah berkooordinasi dengan Dinas Pendidikan, aku senang sekali. Kali ini kepulanganku membawakan sesuatu yang berharga buat anak-anak Talang Tebat Rawas, dimana mayoritas anak-anak sekolahku tinggal. Bukan kawan! Bukan satu kotak cokelat seperti yang engkau pikirkan, bukan pula beberapa bungkus permen yang disenangi anak-anak. Jauh lebih bernilai daripada berbagai kudapan yang sudah kusebutkan. Surat kawan! Ya, surat untuk anak-anak sekolahku dari Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur!! Pengirimnya Rian Ernest, pengajar muda 2 yang juga sempat kutemui bersama Mario dan Dhini saat open house IM sebelum PM 2 berangkat. Surat itu sampai bulan Juli, sedangkan suratnya ditulis pada bulan Mei. Wah, awalnya aku berpikir lambat sekali surat tersebut sampai ke Muara Enim. Namun melihat bagian depan suratnya, saya paham. Mungkin ini memang sesuai dengan harga perangko Rp.5000 yang tertempel di muka amplop. Pantas kurang lebih 2 bulan baru sampai suratnya. (haha Rian ini, kirim surat dari Rote,NTT ke Sumsel kok disamain sama harga naik bus dari Depok-Blok M di Jakarta :D) Hari Senin itu aku masuk ke sekolah dengan riang, sengaja aku belum membuka amplop putih tebal itu. Aku ingin membukanya bersama kelima belas anak di kelasku yang selalu memberikan kejutan-kejutan menyenangkan setiap waktunya (tentunya diselingi juga dengan kejutan menyebalkan dari mereka :D). Dalam perjalanan ke sekolah aku sudah membayangkan bagaimana ekspresi anak-anakku bergitu tahu mereka mendapatkan surat pertama seumur hidup mereka. Teringat dua minggu sebelumnya, saat aku masih mengenalkan apa itu surat kepada mereka, serta menjelaskan manfaatnya mereka tampak masih tidak percaya kalau mereka bisa punya sahabat pena di daerah-daerah yang jauh. “Waaah, masa sih Pak, kita bisa punya kance uwang Papua?” “Bapak nganterin suratnya sendiri kesana ya Pak naik kapal?” “Paak..susah Pak buat surat Paak” Dan berbagai pertanyaan dan rengekan-rengekan lainnya. Kini dalam beberapa menit saja aku akan tahu, seperti biasanya ketika mereka menemukan bukti atas suatu pengetahuan mereka akan mengangguk-anggukan kepalanya dengan semangat. Sambil kadang-kadang berucap “ Oooh.. iya ya Pak.. betul ya pak..”. Setelah berdoa dan menyanyikan lagu 9 tanda senyum sebagai pengingat peraturan sekolah, aku pun mulai membuka pelajaran Bahasa Indonesia pada siang itu dengan mengacungkan ke atas amplop surat itu. “Ada yang tahu benda apa yang Bapak pegang?” Aku melihat ke sekeliling kelas seandainya ada tangan-tangan mungil terangkat disana. “Ya, Apa Imam?” kutunjuk bocah mungil di pojok kanan yang mengacungkan tangannya malu-malu “UANG PAK!!” teriaknya, aku pun menggeleng. Anak-anak lain tertawa. “Buku, Pak!!”, seorang anak menjawab. Aku masih menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. “Kertas, Pak?” “Pensil, pak..” “Gambar Pak”.. kelas jadi riuh dengan berbagai terkaan anak-anak yang semakin ngawur, seperti acara kuis Nico Siahaan dulu di televisi (Apa ini Apa Itu-red). “Oke..cukup-cukup..” potongku mencoba mengendalikan kelas. Kupancing dengan stimulus keterangan berikutnya “ Lihat ini di depannya ada kertas kotak kecil bertuliskan angka-angka.. ini sudah Bapak jelaskan namanya apa ?” “Prangko Pak”, Letri yang memang punya daya ingat paling baik menjawab “Bagus Letri! Naah kalau ada perangko berarti ini apa?” pancingku lagi. “Suraaat Pak “ beberapa anak menjawab serempak. Sisanya masih terbengong-bengong. “Bagus Anak-anak. Ini namanya Surat!! Tepuk hebat dulu untuk kalian semua “ kataku mengapresiasi. “Prok..prok..prok YES..prok..prok prok..YES...prok prok prok KAMU HEBAT!!” mereka tertawa setelah kompak saling memberi apresiasi dengan tepukan tangan. Aku pun melanjutkan penjelasanku tentang surat dari Rote Ndao, mereka tampak bersemangat. Matanya berbinar terpaku pada kertas persegi panjang berukuran 10x20 cm itu. Tanpa diminta, semuanya sudah mengerubungi meja saya. Sambil ribut dan berusaha melihat bentuk surat yang mereka terima. Sebelumnya akupun meminta mereka melihat di peta yang dipasang di depan kelas, dimana Rote Ndao itu. Anak-anak sibuk mencari, kurang dari 1 menit sudah kembali berteriak-teriak “Ini Paak..ini Paaak di bawah”. Sambil loncat-loncat mereka menunjukkan satu titik di ujung selatan peta Indonesia. “ Nah..betul sekarang kalian baca dulu masing-masing suratnya, karena hanya ada 12 jadi ada yang berdua-berdua “ . Begitu instruksiku kepada mereka. Dengan patuh mereka duduk di kursi dan membaca surat dengan suara keras dan masih sedikit mengeja. Tapi yang paling menyenangkan adalah melihat mereka terkejut atas apa yang temannya tulis. Seorang anak yang memang masih belum lancar membaca tiba-tiba terkaget-kaget. " Aiiih, Pak.. ngapeu ini anak gala jadi orang gila?", seru Adit terheran-heran. Ia membaca tulisan seorang anak Rote yang bercita-cita ingin menjadi orang gila. Praktis anak-anak lain langsung mengerubungi meja Adit dan mengiyakan lalu tertawa terbahak-bahak. "Ah, masa? coba kamu baca lagi yang betul Adit", kataku sembari menghampirinya. Setelah kulihat, sekilas memang tulisannya seperti kata gila, namun ternyata itu adalah Guru. Huruf u nya dibuat hampir seperti huruf A. "Nah, ini kan maksudnya Guru, Adiit.. makanya kalian kalau menulis harus jelas juga dan mudah dibaca yaa..", ujarku. Ada lagi hal unik lain yang mereka dapatkan. Seperti salah seorang anak menuliskan makanan kesukaannya daging babi, seorang anak langsung berteriak memberitahu kawannya “Ooooi, ada yang suka makan daging babii!!” Aku pun menjelaskan. “betul anak-anak, mayoritas teman-teman kita disana memang makan babi, karena agama mereka Kristen. Nah kalau kalian kan tidak boleh karena dilarang oleh ajaran Is..” “laaaam” anak-anak melanjutkan. “Oooh di kita banyak Pak babi hutan, tapi dek ngatek uwang makan. Kita kasih buat mereka di Rote saja ya Pak “ Rusli seorang anak kelas 5 menyarankan “Oii susah oii, masa mau kirim babi ke rote?! ” kata Angga disambut tawa riuh di kelas itu. Aku senang, mereka bisa menerima perbedaan dengan positif, bahkan ada anak yang menawarkan supaya babi hutan yang sering sekali berkeliaran di hutan sekolah dan merusak umah mereka diberikan saja untuk anak-anak di Rote supaya dimakan. Memang disini biasanya babi hutan ditembak untuk dibunuh karena merusak ladang. Tapi tidak pernah dimakan karena semua warga di Talang kami adalah muslim. “ Nah, sekarang kalian tahu kan, mereka berbeda agamanya, tapi kalian harus saling menghormati dan tetap berteman dengan mereka. Ingat apa semboyan negara kita?” Lanjutku menjelaskan “Bhineka Tunggal Ika” ujar Juhanda, “Artinya berbeda tapi tetap satu, Pak..” lanjut Malsi “Bagus anak-anak! Sekarang karena mereka sudah memberi wawasan baru tentang agama mereka kalian juga buat surat balasan ya. Isinya bebas, tapi lebih baik ceritakan kegiatan kalian saat ini. Kan kalian puasa, mereka tidak, Coba jelaskan puasa itu apa ke mereka supaya paham.” Terangku. “Jadi ya Pak cerita Lebaran?” Angga bertanya “Jadi.. laju lah mulai..” Seketika kelas sibuk dengan anak-anak yang menulis surat balasan. Terkadang diselingi cekikikan melihat foto-foto anak-anak eksotis dari ujung selatan itu. Bahkan beberapa anak laki-laki di kelasku menukar suratnya dnegan temannya supaya bisa mendapatkan kawan perempuan. (Halah! Tidak heran aku dengan bocah-bocah melayu ini :D) Aku pun meminta mereka membuat gambar untuk kawan-kawannya di Rote. Mereka lalu berinisiatif pula membuat tulisan we love rote di kertas plano untuk difoto dan dikirimkan kepada kawan-kawannya di perbatasan sana. Bagi mereka, pengetahuan bisa didapat dari mana saja. Melalui surat, khususnya program Jejaring Anak Indonesia yang diinisiasi oleh Indonesia Mengajar, mereka bisa saling menceritakan kondisi satu sama lain, kebudayaan mereka, kebiasaan mereka dan kondisi geografis mereka. Diharapkan semangat kebangsaan dan kebersamaan sebagai Bangsa Indonesia bisa terus tumbuh dan berkembang di hati sanubari anak-anak ini. Tenun kebangsaan sudah mulai kami rajut di talang tebat rawas ini, tinggal melihat hasil rajutan berupa kain tenun indah yang mempersatukan tunas-tunas bangsa ini di seluruh nusantara.

Friday, July 6, 2012

Analogi Hutan Karet

Apa yang terlintas pertama kali di pikiran anda ketika mendengar hutan karet? Lalu, bagaimana ketika anda mndengar kata pantai? Berbeda bukan? Melihat hutan karet bagi anda mungkin lebih membosankan jika dibandingkan dengan pantai. Jelas jika kita berada pada bahasan tampilan (packaging), pantai memiliki nilai estetika lebih tinggi, namun dilihat dari kebermanfaatan (utility), bisa jadi hutan karet mempunyai nilai ekonomis yang lebih besar.
Perjalanan pertama menuju desa Pagar Agung Talang Tebat Rawas Kec. Rambang Kab.Muara Enim Sumatera Selatan terasa begitu panjang. Jalur jalan tanah merah diselingi kubangan air di tengahnya mewarnai perjalanan kami. Sisi kiri dan kanan selalu ditumbuhi oleh pohon karet yang berderet rapi. Ya, rumah baru saya ada di tengah-tengah hutan karet. Akhirnya saya akan memulai tugas sebagai pengajar muda. Kilasan adegan-adegan muncul tiba-tiba, ketika kami masih berada di Purwakarta, menjalani pelatihan intensif. Berbicara dengan teman-teman mengenai daerah penempatan, tentu masing-masing mempunyai preferensi yang berbeda. Saya ingat betapa saya dulu ingin sekali ditempatkan di daerah pantai, begitu pun kebanyakan teman-teman sesama pengajar muda. Saya bersyukur akirnya saya ditempatkan di hutan karet, hal yang baru bagi saya. Membuat saya berhasil menemukan refleksi saya tentang kata-kata klise yang sering diucapkan “Don’t jugde a book by its cover”, sering sekali diucapkan namun baru saya pahami artinya ketika saya sampai disini.
Teringat masa-masa kuliah dulu saat saya baru mengenal istilah consumers preference (preferensi konsumen), bahwa manusia bisa memilih berdasarkan opsi-opsi yang ada. Pilihan setiap orang akan dipengaruhi oleh preferensi. Setiap orang mempunyai penilaian dan preferensi yang berbeda untuk setiap hal. Namun, ada banyak hal pula yang biasanya menjadi opini publik dimana sebagian besar orang memiliki pandangan yang sama untuk suatu hal. Pantai dan gunung misalnya, banyak orang yang memiliki preferensi lebih besar terhadap pantai dibandingkan gunung atau mungkin pula sebaliknya. Namun, jika saya mengubah variabel gunung menjadi hutan karet, hampir bisa dipastikan bahwa semua orang akan memilih pantai. Benar, termasuk saya. Pantai mempunyai keunggulan dalam hal ‘riasan’. Panorama khas lautan yang biasanya bisa dinikmati setiap pengunjung dari bibir pantai menjadi sarana refreshing pelepas lelah. Berbeda dengan deretan pohon karet yang berjajar rapat di kanan kiri jalan tanah liat menuju desa saya, tidak ada hal yang istimewa atau bisa dinikmati dari panorama ini. Itu apabila lagi-lagi apabila kita berbicara mengenai riasan. Hutan karet yang bagi sebagian orang tidak menarik dilihat dari sisi pemandangan, mempunyai utilitas yang tinggi bagi masyarakat di desa tersebut. Pantai mempunyai nilai ekonomis ketika bisa dijadikan suatu objek wisata, pantai menawarkan keindahan yang bisa dinikmati setiap orang, namun pantai bukan lah produk, yang bisa dikemas dan dijual ditempat lain. Berbeda dengan pohon karet, puluhan ribu masyarakat bergantung padanya. Setiap hari, petani karet di kampungku pergi untuk menyadap getah karet. Selain itu, batang yang sudah tidak produktif bisa dipotong dan dijual kembali. Pohon-pohon tua bisa dengan cepat digantikan oleh batang-batang baru yang ditanam kembali. Akar pohon karet juga berfungsi sebagai resapan air tanah. Pohon-pohon karet tersebut juga sumber oksigen bagi masyarakat dan karena kerindangannya bisa menahan panas matahari langsung di dataran rendah Muara Enim ini. Saya melihat masih banyak orang yang terpengaruh oleh packaging, citra (image), ‘riasan’ dan juga penampilan dalam menilai sesuatu, tanpa melihat isi atau kebermanfaatannya, termasuk saya sendiri. Sama seperti politisi yang selalu menampilkan citra, sehingga pencitraan menjadi hal yang wajib dilakukan oleh para calon anggota dewan tersebut. Paradigma seperti inilah yang secara perlahan perlu diubah, supaya masyarakat Indonesia tercerdaskan, dan lebih melihat isi daripada kemasan.
Pendidikan di pelosok, layaknya hutan karet sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Tidak cantiknya pemandangan sekolah seringkali dikonklusikan sebagai buruknya prestasi sekolah dan kualitas pembelajaran di sekolah itu. Kondisi fisik; fasilitas, sarana dan prasarana sering dianggap faktor penghambat kemajuan pendidikan. Sementara sekolah di kota-kota besar yang memiliki fasilitas lengkap dianggap akan menghasilkan lulusan-lulusan sukses bahkan tanpa melihat bagaimana proses belajar mengajar di kelas berlangsung. Banyak orang pesimistis akan sekolah-sekolah rusak di pelosok. Tidak ada optimisme bahwa sekolah-sekolah di pelosok akan melahirkan sosok-sosok pemimpin sukses di masa depan. Andrea Hirata, satu dari segelintir orang yang telah berhasil mengubah pemikiran banyak orang akan hal ini, ia yang datang dari pelosok Belitong berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri dan menjadi penulis best seller. Dengan menuliskan novel yang diambil dari kisah hidupnya yang mengangkat wajah pendidikan di pelosok, optimisme akan kemajuan pendidikan di daerah mulai muncul. Disini, saya mempunyai tanggung jawab untuk membuktikan kepada publik sekaligus menebar optimisme, bahwa keterbatasan ekonomi, fasilitas dan sarana prasarana penunjang pendidikan tidak menjadi penghalang bagi keberlangsungan pembelajaran berkualitas di sekolah. Itulah tantangan terbesar saya sebagai pengajar muda di daerah hutan karet, Talang Tebatrawas Desa Pagaragung Kab.Muara Enim. Bagaimana memaksimalkan potensi sekolah di pelosok melalui sumber daya manusianya, siswa, guru, kepala sekolah, komite, dinas pendidikan dan pemangku kepentingan lainnya. Bukan, bukan dengan menonjolkan kualitas kemasan, melainkan dengan menonjolkan kualitas isinya. Untuk menutup tulisan ini, saya teringat kata-kata seorang dosen “ Untuk membangun Indonesia, bangunlah manusianya terlebih dahulu, pembangunan fisik hanya penunjang, ketika kualitas manusianya sudah terbangun, pembangunan fisik pasti akan mengikuti.”

TRAMBOL

Keterbatasan fasilitas dan sarana di pelosok bukan penghalang bagi para pemuda untuk berinovasi dan berkreatifitas. Melalui permainan TROMBOL, para bujang di Rambang, Muara Enim membuktikan ketiadaan sarana hiburan pelepas lelah membuat mereka mampu mengkreasikan permainan lokal yang mengasyikkan. Siapa yang tidak kenal dengan permainan billyard? Jenis permainan yang sering kita jumpai di kota-kota besar ini memang menjadi sarana pengusir stress bagi sebagian orang. Menyodok bola dengan tongkat supaya masuk ke dalam salah satu dari enam lubang yang ada di pinggiran arena billyard memang mengasyikkan. Selain kecerdasan kinestetik, perlu perhitungan dan ketelitian yang mumpuni untuk dapat memasukan bola-bola tersebut. Jika billyard biasanya ada di pusat-pusat hiburan di kota-kota besar, kawula muda di kota kecil pun dimanjakan dengan permainan bernama karambol. Jika billyard membutuhkan tongkat untuk menyodok dan mengarahkan bola ke dalam lubang, karambol cukup menggunakan jari saja untuk mengarahkan kepingan plastik pipih bernomor itu ke dalam 4 lubang di sudut papan karambol. Saya jadi teringat permainan karambol yang sering dimainkan ketika masih kuliah, di depan kantor Badan Otonom Economica (BOE) FEUI, biasanya para mahasiswa memainkan permainan yang membutuhkan bedak untuk pelicin papan alas tersebut sembari menunggu kelas berikutnya. Permainan yang simpel dan menghilangkan stress juga membuka ruang berinteraksi bagi para pemainnya. Biasanya kami bermain sambil mengobrol ngalor-ngidul, mulai dari politik hingga curhat masalah kuliah maupun nilai. Billyard dan karambol tentu saja tak asing bagi saya, namun permainan yang baru saya temukan di Talang Airguci, Desa Sugihan, Kabupaten Muara Enim inilah yang membuat saya takjub. Namanya trombol, permainan ini hampir setiap malam dimainkan oleh para bujang di Talang airguci. Sepintas, permainan ini mirip sekali dengan Billyard, namun yang disodok disini bukan bola bulat berwarna melainkan potongan kayu berbentuk bulat pipih dengan diameter sekitar 4 cm dan tebal sekitar 2 cm. Diatas potongan kayu tersebut diwarnai dengan spidol permanen biru dan merah, tak lupa dibubuhi angka-angka layaknya yang terdapat pada bola bilyard maupun karambol. Anda tentu saja tidak dapat menemukan baik potongan kayu bulat dan alas permainan trombol ini di toko-toko olahraga karena semuanya mereka buat sendiri. Saya bertanya asal mula permainan ini, namun bujang-bujang talang tersebut tidak mengetahui dengan pasti karena permainan ini sudah cukup lama menjadi primadona di kalangan pemuda-pemuda talang. Uniknya permainan ini, lubang hanya ada di keempat sudut papan seperti pada permainan karambol, namun cara menggerakan kayu bulat itu menggunakan tongkat seperti pada permainan billyard. Saya terkesima melihat permainan trombol, kreatifitas para pemuda di pelosok Sumatera Selatan ini sangat luar biasa. Mulai dari papan permainan, tongkat dan biji bola semuanya dibuat sendiri. Aturan main pun kadang berubah sesuai keinginan dari para pemainnya. Karena bola yang dimainkan berbentuk pipih, cukup sulit bagi saya ketika mencoba menyodok dan memasukkannya ke dalam lubang. Disinilah fungsi dari bedak bayi yang terlihat di pojokan meja, papan yang terbuat dari triplek dan biji bola dari kayu menghasilkan gaya gesek yang cukup besar sehingga sedikit sulit meluncur walaupun sudah ditambah gaya dorong dari tongkat sodok. Sembari bermain saya pun mengobrol dengan mereka yang berbicara menggunakan bahasa melayu. Bukan melayu asli memang, karena sudah bercampur dengan bahasa daerahnya sendiri dan serapan berbagai bahasa dari Jawa, Sunda dan Palembang. Melalui permainan trombol ini, para pemuda biasanya berkumpul dan mengobrol sampai larut malam, bahkan biasanya mereka baru bubar ketika genset sudah mati, yaitu sekitar pukul 23.00. Saya senang bukan main melihat permainan trombol ini ada di desa. Disaat para pemuda ini membutuhkan sarana hiburan pelepas stress, dengan keterbatasan yang ada mereka mampu mengkreasikan permainan sendiri. Mungkin awalnya, bilyard dan karambol-lah yang menginspirasi sang inventor membuat permainan ini, namun melihat peralatan billyard sulit didapatkan, dengan bahan-bahan yang ada mereka berhasil menciptakan permainan sendiri yang tak kalah mengasyikkan. Disini saya belajar bahwa inovasi dan kreatifitas bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tidak terbatas pada zona nyaman yang penuh fasilitas dan sarana. Yang terpenting, ada usaha dan kemauan untuk berpikir dan memberdayakan hal-hal yang ada di sekitar kita.

Kids on My Window

Kalau adek mau tebu, Ambilah di kebunku ..Kalau adek rindu padaku, Angin bertiup itu salamku” Itu merupakan satu dari sekian banyak pantun yang dibuat Angga, seorang anak kelas 4 SD di Talangku. Layaknya lirik lagu melayu yang romantis, mayoritas anak-anak Talang Tebatrawas, tempatku mengajar sangat piawai dalam berpantun dan menggoda kanca-kancanya. Setelah hampir 1 Minggu tinggal di rumah keluarga Dimas, tanggal 21 Juni 2012 aku pun resmi tinggal di Rumah Keluarga Bapak M. Pudi di talang Tebatrawas, Desa Pagar Agung. Dari rumah Dimas di Air Guci, kami harus menempuh perjalan sekitar 45 km selama kurang lebih 1.5 jam melalui jalan tanah merah yang berkelok-kelok dengan panorama deretan pohon karet di kanan kiri jalan. Terkadang kubangan air berlumpur pun terpaksa harus dilalui roda si kuda besi. Sebagian besar rumah di talang Tebatrawas adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Hanya ada 3 rumah yang sudah berbahan dasar batu batu dilapisi semen, salah satunya rumah keluarga yang kutinggali. Aku menempati satu kamar di tengah yang mempunyai satu jendela kayu menghadap ke rumah panggung tetangga. Ketika sedang beres-beres, tiba-tiba seorang anak dengan malu-malu melongok ke jendelaku. Aku pun tersenyum sembari bertanya namanya siapa. “Namaku Angga” ujarnya sembari tersenyum lebar. Kami mengobrol singkat, karena aku masih belum ’pacak’ bahasa talang. Itulah awal perjumpaanku dengannya. Tak kusangka hari-hari ke depannya obrolanku dengan Angga menjadi rutinitas pagi hari setelah aku bangun pagi. Saat aku buka jendela, Angga sudah duduk di depan rumah panggungnya, menyapaku “Paak..” seraya berlari-lari kecil menghampiri jendelaku dan duduk disana. Tiba-tiba anak kelas 4 SD ini mengajakku berbalas pantun. Pantun-pantun yang dibuatnya semuanya tentang cinta, aku terpesona oleh kelihaian anak ini bermain kata. Banyak sekali pantun-pantunya saat itu, aku tidak ingat semuanya saking takjubnya. Ada beberapa yang kuingat, begini bunyinya : Menulis surat di atas batu Hati-hati takut ku salah Kalau adek cinta padaku Tunggu aku tamat sekolah Kalau adek mau tebu Ambilah di kebunku Kalau adek rindu padaku Angin bertiup itu salamku Alamaak!! aku ternganga! Takjub dengan kepiawaian angga berpantun disertai gaya centilnya layaknya pria kasmaran yang sedang merayu wanita. Selama kurang lebih 10 menit keluarlah sekitar 12 pantun dari mulut kecilnya yang selalu dilantunkannya dengan nada riang. Bukan aku tak punya mistar Mistarku ada di laci Bukan aku tak punya pacar Pacarku lagi mengaji Sudah tahu jalannya licin Kenapa adik bersepeda Sudah tau kakaknya miskin Kenapa adek jatuh cinta Kura-kura bersepatu Kura-kura dalam perahu Pura-pura tidak tahu Di dalam hati bilang i love you Buah dukuh buah rambutan Cuma satu masak di hutan Cintaku bukan buatan Seperti paku lekat di papan Kupu-kupu hinggap dilampu Kutepak dengan sapu Kalau adek rindu padaku Peluk bantal itu salamku Setelah beberapa lama, Angga mulai memaksaku untuk membalas pantunnya. Pagi-pagi bukan waktu terbaik buatku untuk berpikir. Namun, ditantang anak kecil yang akan menjadi muridku ini membuatku harus memutar otak. Dengan cepat aku melantunkan pantun yang sedikit ‘maksa’. Memancing ikan di tepi kali Benangnya kuikat tali pita Heran aku sama anak-anak ini Masih kecil sudah tahu cinta
Ia pun tertawa-tawa mendengarnya. Aku juga senang, akhirnya bisa tahu bagaimana untuk masuk ke anak-anak Talang Tebatrawas ini. Salah satu cara jitunya adalah lewat pantun. Termasuk ketika saya memperkenalkan diri di depan wali murid dan siswa pada saat pembagian rapot pun, saya buka sambutan saya dengan pantun yang disambut riuh oleh tepuk tangan warga. Semakin lama berinteraksi dengan Angga, aku pun mulai menghapal tipe-tipe pantun-nya Angga. Dua hari berselang, anak-anak yang muncul di jendelaku semakin bertambah. Ada teddy, Sinta, Ayub, Arga, Firul dll. Aku sambut dengan ceria karena mereka selalu datang dengan pantun gombalan mereka yang kubalas terpatah-patah. Burung pipit terbang di bukit Sampai di bukit bertelur dua Hati siapa tidak sakit Melihat kakak duduk berdua Jangan menulis diatas kaca Menulislah diatas meja Jangan menangis karena cinta menangislah karena dosa. Menulis surat di meja batu Ada cewek di sampingku Nempel-nempel marahi aku Tak tahunya cinta padaku Jalan-jalan ke Bengkulu Jangan lupa membeli buku Kalau ade rindu padaku Tiup lilin itu salamku Aaah, anak-anak melayu ini seperti layaknya lirik-lirik dalam lagu melayu. Melankolis dan romantis. Kelak, akan kupakai pantun sebagai jurusku dalam mentransfer ilmu di dalam kelas-kelas kecil mereka. Tak sabar rasanya menunggu tangggal 9 Juli 2012, hari pertama jagoan-jagoan pantun itu masuk sekolah lagi. Tungggu aku anak-anak hebat!
“Berlari-lari keluar keringat Minum air dari dalam gelas Jangan lupa siapkan semangat Ada bapak guru baru nanti di kelas”

Doni, Si Jenius Gambar

Minggu pertama penempatan aku habiskan di Talang Airguci, Desa Sugihan. Karena satu dan lain hal, aku belum bisa masuk ke desaku di Talang Tebatrawas. Di desa ini sudah Ada Dimas Sandya, Pengajar Muda angkatan 2 yang akan digantikan oleh temanku, Trisa Melati. Untuk mengisi waktu, akupun ikut membantu Dimas dan Trisa di sekolahnya mereka, sebenarnya sudah tidak ada lagi kegiatan KBM, namun kami tetap masuk untuk sekedar memberikan motivasi dan bermain bersama. SDN 10 Rambang Kelas lokal jauh mempunyai enam rombongan belajar. Namun hanya ada satu ruangan yang disekat oleh triplek tipis menjadi 3 bagian. Satu bagian kelas terdapat dua baris meja, kelas 1 dan 2, 3 dan 4, 5 dan 6. Ketiga bagian itu disatukan oleh papan tulis yang sama. Aaakh, kawan kau harus melihat fotonya. Ini yang selalu diceritakan Dimas, tiga guru berdiri di depan kelas masing-masing mengajar 2 kelas, suaranya terdengar ke semua ruangan. Bahkan kadang-kadang ada siswa kelas 3 yang menjawab pertanyaan guru di kelas 6. Untuk konsentrasi pun sangat sulit, untungnya masing-masing guru saling pengertian. Terkadang ada guru yang membawa muridnya belajar di luar kelas. Miris sekali, kawan! Namun, aku tidak akan membicarakan sekolahnya dulu disini. Aku mau cerita tentang anak kelas 4 bernama Doni, Doni Iskandar nama lengkapnya. Aku masuk ke kelas 3 dan 4, setelah berkenalan dan bernyanyi bersama aku menanyakan kepada mereka tentang cita-citanya. Dengan metode bernyanyi semuanya menceritakan cita-citanya serta apa yang diperlukan untuk mencapai cita-cita itu. Aku kagum terhadap Dimas, mereka sudah pandai dan tidak malu-malu lagi untuk berbicara. Aku lihat juga anak-anak ini sudah mempunyai percaya diri dan optimisme akan masa depannya. Okta, dengan tegas berkata “Cita-citaku ingin menjadi artis, untuk itu aku perlu berlatih keras dan konsentrasi”. Anak lainnya, Juni berkata “ aku nak jadi Pemain Band, buat jadi pemain band harus bisa menahan malu”. Ada juga yang berujar “ Aku ingin menjadi pelukis, harus rajin melukis dan berdoa”. Ada satu anak lagi yang dengan malu-malu mengatakan ingin jadi kiai. Ketika ditanya apa yang dibutuhkan, ia menjawab “ harus rajin solat dan mengaji pak.” Terakhir, Doni mengatakan ingin menjadi pemain bola, ia berkata “ Pemain bola harus kuat fisik, berlatih keras dan juga harus pintar”. Setelah semuanya menceritakan cita-citanya aku memberikan motivasi bagi mereka untuk terus berusaha memperjuangkan apa yang mereka cita-citakan tentunya dengan belajar, berlatih dan berdoa. Selesai kelas, Doni menghampiriku, ia mengambil sobekan kertas dari bukunya dan menyerahkannya padaku “untuk Bapak..”, ujarnya seraya memberikan kertas tersebut padaku. Setelah berterima kasih kubuka kertas itu. Isinya gambar yang dibuat untukku, dengan kaos timnas bola bernomor 17 dan tulisan diatasnya ‘Bapak adi’. Aku senang kawan! Bukan, bukan karena disitu aku disejajarkan dengan Irfan Bachdim namun karena bentuk perhatian dan ketulusan anak itu. Di pelosok yang belum ada listrik ini, ada seorang anak yang memperhatikan orang baru dan memberikan sebuah gambar hasil karyanya. Ini jelas lebih indah daripada lukisan-lukisan yang biasa dibuat kartunis untuk politisi yang diundang di reality show TV nasional, kawan!
Aku jadi teringat ketika aku kecil, aku juga sering menggambar teman-teman dan guru-guruku di dalam kelas. Temanku senang aku gambar, tidak dengan guruku. Guruku pernah merobek karyaku karena menganggap menggambar itu tidak ada gunanya. Tipikal guru yang mempunyai pemikiran sempit saat itu. Sekarang, aku sungguh bangga dengan Doni, dengan guru-guru yang memfasilitasi anak-anak untuk mengembangkan bakatnya. Doni jelas mempunyai bakat dalam menggambar, kuperhatikan karya-karyanya di mading sekolah juga bagus-bagus untuk anak seusianya. Aku pun membalas gambarnya dengan gambar buatanku. Gambar Tentang Doni, membawa piala Liga Asia sebagai kapten Indonesia yang menjadi juara. Sambil kutuliskan “jangan lelah mengejar cita-citamu!” Malamnya aku memberikan gambar itu untuk Doni, ia pun senang dan memuji gambarku. Aku bilang gambarnya lebih bagus. Dengan pujian tulusku, aku sama sekali tidak mengharapkan Doni memilih menjadi pelukis daripada pemain bola. Buatku itu adalah pilihan anak itu. Apapun pilihannya perlu kita dukung dengan semangat dan motivasi. Ini adalah bentuk apresiasi terhadap anak, aku belajar banyak dari pengalamanku. Ketika anak merasa diperhatikan dan bakatnya diakui, maka kepercayaan dirinya akan meningkat. Waktu kecil, aku bermimpi menjadi arsitek, aku ingin membuat kastil yang indah di bulan (mungkin waktu itu terlalu banyak nonton film Sailormoon-red). Aku sering menggambar istana di bulan, namun sejak aku dimarahi oleh guruku karena menggambar dan tidak ada yang mengapresiasi gambarku, aku mulai meninggalkan dunia menggambar. Selama pelatihan Pengajar Muda, aku pun belajar untuk selalu membicarakan hal-hal positif dan optimis dengan anak-anak. Mimpi mereka perlu didukung selama itu positif. Aku percaya kelak, Doni akan menjadi pemain bola yang hebat atau bahkan pelukis yang sukses. Begitu pun anak-anak lainnya di talang ini. Ini merupakan awal bagiku, membantu mereka untuk terus berani bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpinya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More