Urgensi Pendidikan Tinggi yang Berkualitas dalam Proses Akumulasi Human Capital menuju Akselerasi Transformasi Struktural di Indonesia
Oleh : Adhi Rachman Prana
Abstraksi
Indonesia dengan jumlah penduduk nomor empat di dunia seharusnya bisa mengoptimalkan kualitas sumber daya manusia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sebagai Negara berkembang yang sudah 65 tahun merdeka ternyata Indonesia masih belum mampu mengembangkan sumber daya manusianya untuk dapat bersaing di pasar internasional. Hal ini disebabkan oleh pesatnya laju pertumbuhan penduduk namun tidak diiringi oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Padahal saat ini Indonesia sedang dalam proses transformasi struktural dari sektor pertanian menuju sektor non-pertanian yang membutuhkan tenaga-tenaga kerja terdidik dan berkualitas. Pendidikan merupakan determinan terpenting dalam mewujudkan Human Capital yang berkualitas. Paper ini membahas urgensi penyediaan pendidikan yang berkualitas dengan fokus pendidikan tinggi dan apakah sistem Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) yang merupakan transformasi dari Perguruan Tinggi Negeri ini benar-benar bisa menyediakan pendidikan tinggi yang berkualitas dalam mempercepat proses akumulasi modal dan transformasi struktural?
Keywords: investasi pendidikan, PT BHMN, human capital, transformasi struktural
Indonesia dilihat dari perkembangannya secara historis menunjukkan adanya tren yang berubah terutama dilihat dari struktur ekonomi masyarakatnya. Proses transformasi dari sektor pertanian menuju sektor industri dan jasa yang mengalami pertumbuhan mengesankan belakangan ini menarik untuk dicermati. Indonesia sangat kaya akan sumber daya manusia yang merupakan suatu human capital Negara, terutama bagi Negara berkembang dengan jumlah populasi yang cenderung lebih besar daripada Negara maju. Ledakan populasi penduduk di Negara berkembang tersebut cenderung susah dikendalikan sehingga populasi penduduk semakin membengkak tiap tahunnya. Ini merupakan suatu hal yang perlu dicermati karena jumlah penduduk yang besar dapat menimbulkan dampak negatif seperti merebaknya kemiskinan.
Bagai dua sisi mata uang, selain dampak negatif, populasi yang besar juga memiliki nilai positif bagi Indonesia. Bagi Negara yang merupakan labor abundant seperti Indonesia, maka membuat sumber daya manusia lebih produktif adalah cara yang paling baik untuk keluar dari kemiskinan. Hal ini dapat dicapai dengan cara perluasan kesempatan kerja, pelatihan keterampilan, dan yang paling utama adalah pencapaian pendidikan dasar. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan mulia bangsa Indonesia yang tersurat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu pendidikan mendapat perhatian khsusus dari pemerintah. Pemerataan dan pengembangan sekolah telah digencarkan sejak dulu di berbagai pelosok Indonesia dan pada tahun 1994 pemerintah Indonesia mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun. Dengan WAJAR 9 Tahun ini diharapkan Indonesia akan mampu mencapai angka partisipasi sekolah dasar yang tinggi.
Terkait dengan adanya tuntutan perubahan pola produksi dan aktivitas perekonomian dari sektor pertanian yang membutuhkan tenaga kerja less skilled dibandingkan dengan sektor jasa dan industri yang sangat berkembang pesat dewasa ini. Tuntutan permintaan tenaga kerja berpendidikan tinggi pun tidak terelakkan lagi. Inilah tantangan yang harus bisa dijawab oleh bangsa Indonesia meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan tinggi yang berkualitas untuk meningkatkan akumulasi human capital di Indonesia. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah? Bagaimana menyediakan pendidikan tinggi yang berkualitas? Apakah sistem BHMN yang sekarang diterapkan benar-benar efektif dalam meningkatkan aksesibilitas dan kualitas sumber daya manusia dan bisa mempercepat proses transformasi struktural?
Pendidikan dan Proses Transformasi Struktural
Syrquin (1988) mendefinisikan transformasi struktural sebagai proses yang berhubungan dengan perubahan struktural yang mengikuti pembangunan ekonomi. Dalam teori transformasi struktural, dikenal empat proses yang mengiringi pembangunan ekonomi, yaitu proses akumulasi, proses alokasi, proses demografi dan distribusi. Selanjutnya, Chenery (1986) menyebut akumulasi modal fisik dan sumber daya manusia serta pergeseran (shift) dalam komposisi struktur permintaan, perdagangan, kegiatan produksi dan ketenagakerjaan sebagai the economic core of the transformation. Dalam paper ini yang akan dibahas adalah proses akumulasi modal dengan fokus pendidikan tinggi di Indonesia.
Banyak peneliti yang sudah melakukan studi untuk melihat apakah terdapat hubungan antara pendidikan dengan proses transformasi struktural. Sebuah studi yang diakukan oleh Lee dan Malin (2009) mengenai peran pendidikan dalam transformasi struktural di Cina tahun 1978-2004 menegaskan bahwa pendidikan berkontribusi dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam dua hal, yakni meningkatkan human capital dan memfasilitasi realokasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian yang lebih produktif. Relokasi tenaga kerja yang dimaksud adalah dari sektor pertanian ke sektor non pertanian yang lebih produktif. Dalam penelitian tersebut, mereka membuat hipotesis bahwa peningkatan pendidikan secara efektif mengurangi inefisiensi yang disebabkan oleh berbagai restriksi salah satunya adalah regulasi tentang migrasi dengan sistem hukou..
Caseli dan Coleman (2001) membangun suatu model melihat hubungan antara biaya memperoleh pendidikan dengan proporsi angkatan kerja yang terdidik (educated labor) hasilnya adalah penurunan biaya pendidikan akan berkontribusi pada peningkatan proporsi angkatan kerja yang terdidik (educated labor) dan bekerja di sektor non-pertanian. Model ini menjelaskan proses transformasi struktural yang ada di Amerika Serikat. Penelitian ini kemudian menekankan pada aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan terutama penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berkualitas dengan biaya rendah sehingga bisa diakses oleh masyarakat.
Perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia
Fahmi (2007) memaparkan perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia mulai dari zaman pre-kolonialisme, kolonialisme Belanda, kolonialisme Jepang sampai zaman Indonesia merdeka. Pada saat itu banyak restriksi terhadap aksesibilitas pendidikan tinggi oleh warga pribumi. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai masa demokrasi parlementer 1949, pendidikan tinggi di Indonesia mengalami kemajuan yang mengesankan. Pada saat itu didirikan UI UGM dan satu Universitas Islam. Konsepnya menyerupai model Mesir dan Belanda. Kemudian partisipasi masyarakat juga meningkat dari 1600 menajdi 5200 mahasiswa dari tahun 1945-1950.Kemudian didirikan pula universitas swasta, Unas Jakarta (1949) dan Universitas Islam Indonesia (1946) di Yogyakarta. Pada periode 1950-1959 jumlah universitas meningkat tajam dari 4 di tahun 1950 menjadi 135 (1960) dengan komposisi 53 universitas negeri dan 80 swasta. Angka partisipasi juga meningkat dari 5000 menjadi lebih dari 108.000 . Sistem pendidikan berubah dari sistem studi Eropa menjadi Anglo-American model.
UU no. 15 tahun 1961 merupakan UU pertama dalam bidang pendidikan tinggi. Di dalamnya termaktub misi pendidikan yaitu Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mempunyai tiga pilar yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kemudian strategi jangka panjang mengenai sistem pendidikan tinggi mulai ada tahun 1975-1985 melalui Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang/ KTTPJ) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Strategi ini menegaskan adanya hubungan yang kuat antara pendidikan dengan pembangunan nasional dan regional. Dual sistem mulai diperkenalkan. Pendidikan tinggi dibagi ke dalam 3 program yaitu diploma, sarjana dan pasca sarjana.
Perkembangan pendidikan tinggi saat ini bisa dilihat dari segi institusi, akses dan partisipasi serta pengeluaran pemerintah untuk pendidikan tinggi. Dari sisi institusi, berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, terdapat 5 bentuk perguruan tinggi yaitu akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Data tahun 2004, diketahui bahwa perguruan tinggi di indonesia lebih banyak dimiliki oleh pihak swasta yaitu sebanyak 2235 sedangkan yang dimiliki pemerintah hanya 81 perguruan tinggi. Ada hal unik disini, Walaupun swasta lebih banyak memiliki perguruan tinggi, namun kebanyakan kurang memiliki dana untuk meyediakan fasilitas dan kualitas pendidikan yang baik. Berbeda dengan di negara maju dimana pendidikan tinggi yang disediakan oleh swasta memiliki kualitas pelayanan dan manajemen yang lebih baik, di Indonesia swasta hanya dijadikan pilihan kedua dalam memilih perguruan tinggi.
Dilihat dari enrollment ratio menurut Nizam (2006) untuk tertiery level enrolment ratio meningkat dari 2% ditahun 1975 menjadi lebih dari 13% di tahun 2004. Cepatnya pertumbuhan angka partisipasi pertumbuhan tinggi ini menurut Nizam dikarenakan pertumbuhan ekonomi dan trend global angka partisipasi perguruan tinggi yang semakin meningkat. Kemudian akses dan partisipasi pendidikan di Desa dan Kota juga mempunyai gap yang sangat jauh. Dimana angka partisipasi tertiery level di kota mencapai 15,4% sedangkan di daerah pedesaan hanya 2.1%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun angka partisipasi secara nasional meningkat, namun akses terhadap kaum minoritas terutama penduduk di pedesaan masih terbatas.
Reformasi sistem pendidikan tinggi menjadi Badan Hukum Milik Negara
Adanya status baru pada perguruan tinggi di Indonesia dimana Universitas menjadi suatu badan hukum baru membawa perubahan yang signifikan pada pengelolaan PT dan sistem pendanaan. Universitas saar ini bertanggung jawab atas pendanaan untuk pendidikanya tanpa ada dukungan finansial yang pasti dari pemerintah. Melihat budget pemerintah untuk pendidikan tahun 1998-1999 secara nominal anggaran untuk pendidikan di semua level dinaikkan, namun presentasenya berbeda untuk pendidikan tinggi dan pendidikan dasar dimana untuk pendidikan tinggi anggaran naik hanya 26% sedangkan untuk pendidikan dasar naik 52%. Saat ini ada 4 PT yang menjadi BHMN yaitu UI, UGM, ITB dan IPB melalui PP 152/200, PP 153/200, PP 154/2000 dan PP 155/2000. Setelah transformasi ke BHMN, PT tersebut tidak akan mendapatkan dana operasional dari pemerintah, sebagai gantinya akan ada block grant yang besarnya disesuaikan dengan performa masing-masing PT.
Analisis Proses Akumulasi Human Capital di Indonesia
Proses akumulasi adalah proses pemanfaatan sumber daya untuk meningkatkan kapasitas produksi perekonomian suatu negara. Peningkatan kapasitas produksi ini merupakan implikasi logis dari peningkatan investasi baik modal fisik maupun modal manusia (physical and human capital investment). Determinan dari investasi Human Capital adalah kenaikan tingkat pendidikan. Dua indikator utamanya adalah peningkatan Education expenditure per GDP dan School enrollment ratio yang meningkat baik angka partisipasi primer, sekunder maupun tersier.
Tabel 1
Transformasi Struktural di Indonesia, 1960-1990
Proses Akumulasi
Indikator | Pertengahan 1960-an | Awal 1990-an |
Investasi (% dari PDB) Tabungan Nasional Bruto
- Investasi Domestik Bruto
|
7.9 8.0 |
26,3 24,6
|
Pendidikan:% populasi dengan: | (1961)
68.1 16.7 11.8 3.3 0.1 | (1990) 18.9 24.6 30.1 24.8 2.6 |
Penerimaan pemerintah - Penerimaan pajak/PDB | (1974/1975) 5.8 | (1990/1991) 9.7 |
Sumber : Bhattacharya dan Pangestu (1993)
Proses akumulasi modal di Indonesia dari tahun 1960-1990 menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Pada pendidikan persentase penduduk yang mengecap pendidikan tinggi naik sebesar 2.5% dalam kurun waktu 30 tahun. Fahmi (2007) juga mengulas angka partisipasi pendidikan tinggi meningkat dari 2% ditahun 1975 menjadi lebih dari 13% di tahun 2004. Hal ini menunjukkan perbaikan yang baik bagi proses transformasi struktural secara keseluruhan.
Kemudian, dilihat dari Human Development Index Indonesia mengalami peningkatan walaupun posisinya termasuk negara-negara yang memiliki HDI rendah. Human Development Index adalah tolok ukur kualitas sumber daya manusia berdasarkan faktor-faktor seperti Angka Harapan Hidup (Life Expectancy) dan Angka Melek Huruf (Literacy Rate).
Sistem Pendidikan Tinggi dan Kualitas Human Capital di Indonesia
Lee dan Malin (2009) sepakat bahwa kualitas human capital dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dilakukan. Semakin tinggi kualitas pendidikan akan semakin berkualitas human capital yang dimiliki. Sistem pendidikan tinggi yang berkualitas akan menciptakan calon-calon praktisi dan profesional di bidangnya masing-masing sehingga proses akumulasi modal akan mendorong akselerasi transformasi struktural. Angkatan kerja akan dipenuhi oleh lulusan-lulusan perguruan tinggi berkualitas yang siap dipekerjakan di bidang non-pertanian terutama sektor jasa dan industri.
Bagaimana dengan wajah pendidikan tinggi di Indonesia saat ini? Penulis sepakat dengan Fahmi (2007) mengenai kualitas universitas swasta saat ini yang lebih rendah dibandingkan dengan universitas negeri dan animo calon mahasiswa lebih besar keinginannya untuk masuk PTN dan menjadikan universitas swasta opsi kedua, padahal saat ini jumlah PTS lebih banyak daripada PTN. Masalah selanjutnya adalah aksesibilitas perguruan tinggi kepada masyarakat. Dari data yang tersurat di paper Muhammad Fahmi, terdapat gap yang besar antara konsumen pendidikan di daerah perkotaan dengan pedesaan. Tahun 2006, angka partisipasi penduduk kota yang bisa mengakses pendidikan tinggi adalah 15,4 sedangkan populasi penduduk pesesaan hanya 2.1. Inilah yang perlu dijadikan fokus pemerintah, bagaimana meningkatkan angka partisipasi calon-calon pelajar daerah pedesaan untuk bisa mendapatkan pendidikan tinggi. Kemudian, bagaimana dengan education expenditure dari APBN untuk pendidikan tinggi yang merupakan salah satu indikator dalam pendidikan untuk alokasi human capital ?
Tabel 2
Perkembangan Budget Pendidikan Dasar dan Pendidikan Tinggi terhadap LKPP
2005-2009
Tahun | Pendidikan Tinggi | Pendidikan Dasar |
Milyar Rupiah | %terhadap GDP | Milyar Rupiah | % terhadap GDP |
2005 | 7.055,7 | 1.95 | 12.310,4 | 3.40 |
2006 | 9.729,0 | 2.21 | 22.773,9 | 5.17 |
2007 | 6.904,4 | 1.37 | 22.494.5 | 4.46 |
2008 | 13.096,4 | 1.89 | 24.627.5 | 3.55 |
2009 | 22.189,3 | 2.84 | 37.205,7 | 5.92 |
Sumber : Data Pokok APBN 2010 , Kementrian Keuangan RI (diolah)
Bisa kita lihat dari data diatas bahwa pemerintah lebih memprioritaskan pendidikan dasar bagi masyarakat yang diindikasikan dengan besarnya anggaran untuk pendidikan dasar dibandingkan dengan pendidikan tinggi. Hal ini sejalan dengan adanya transformasi dari beberapa perguruan tinggi negeri menjadi suatu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) sehingga subsidi kepada BHMN dihilangkan dari anggaran negara dan diganti dengan sistem block grant sesuai dengan performa masing-masing PT-BHMN.
Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia
Berikut ini adalah gambaran kondisi penyerapan tenaga kerja di Indonesia dan kemudian tenaga kerja menurut pendidikan yang ditamatkan .
Tabel 3
Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Berdasarkan ISIC
(dalam Persentase)
| Februari 2006 | Februari 2007 | Februari 2008 | Februari 2009 | Februari 2010 |
ISIC 1 | 44,47 | 43,66 | 41,83 | 41,18 | 39,87 |
ISIC 2- 5 | 17,97 | 18,20 | 18,07 | 17,78 | 17,96 |
ISIC 3 | 12,16 | 12,39 | 12,19 | 12,07 | 12,15 |
ISIC 6- 9 | 37,56 | 38,14 | 40,09 | 41,04 | 42,16 |
ISIC 6 | 19,50 | 19,91 | 20,27 | 20,90 | 20,68 |
ISIC 9 | 11,11 | 11,23 | 12,53 | 13,03 | 14,54 |
Sumber : Slide Kuliah Prof. Arsjad Anwar, 3 November 2010
Dari tabel tersebut bisa kita lihat bahwa terjadi peningkatan angka penerapan tenaga kerja untuk ISIC 6-9 yaitu sektor perdagangan, jasa, transportasi dan keuangan. Sementara untuk sektor pertanian (ISIC 1) terus mengalami penurunan secara signifikan. Hasil yang menarik adalah di tahun 2010 untuk pertama kalinya proporsi sektor pertanian tidak berada di tingkat pertama. Kontribusi penyerapan tenaga kerja tertinggi berada pada sektor perdagangan, transportasi, jasa dan keuangan. Hal ini mengindikasikan telah terjadi suatu proses transformasi struktural dalam penyerapan tenaga kerja.
Tabel 4
Tingkat Pendidikan Pekerja di Indonesia
(dalam persentase)
Pendidikan | 2006 | 2007 | 2008 | 2009 | 2010 |
s.d. SD | 55,63 | 54,60 | 54,50 | 53,05 | 51,50 |
Tidak/ Belum Pernah Sekolah | 5,45 | 5,42 | 5,56 | 5,45 | 5,32 |
Tidak/ Belum Tamat SD | 12,12 | 11,29 | 12,72 | 12,91 | 16,96 |
SLTP | 20,00 | 20,28 | 19,01 | 18,99 | 18,9 |
SLTA Umum | 12,57 | 13,06 | 13,62 | 14,48 | 14,55 |
SLTA Kejuruan | 6,23 | 6,00 | 6,57 | 6,88 | 7,77 |
D1, D2, D3 | 2,26 | 2,49 | 2,61 | 2,56 | 2,69 |
S1 dan Pasca | 3,32 | 3,56 | 3,69 | 4,04 | 4,60 |
Sumber : Slide Kuliah Prof. Arsjad Anwar, 3 November 2010
Komposisi penduduk yang bekerja paling banyak merupakan lulusan SD. Proporsi terbesar pun ada pada penduduk lulusan SD. Sementara lulusan pendidikan tinggi baik diploma, sarjana maupun pasca sarjana proporsinya terhadap keseluruhan jumlah penduduk yang bekerja masih sangat rendah walaupun trend nya menunjukkan hasil yang menaik dari tahun ke tahun.
Inilah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Perkembangan sektor ISIC 6-9 memang sangat pesat dan dibutuhkan tenaga-tenaga kerja yang handal yang bisa menggerakan sektor ekonomi ini ke arah yang lebih progresif. Untuk itu diperlukan suatu sitem pendidikan tinggi yang benar-benar berkualitas dan mudah diakses.
Implikasi dari BHMN
Keberadaan PT BHMN berawal dari kegelisahan sejumlah perguruan tinggi negeri atas minimnya otonomi yang dimiliki untuk menumbuhkembangkan institusinya agar dapat bersaing di tingkat internasional. Otonomi tersebut dibutuhkan berangkat dari pengalaman bahwa sistem keuangan yang ada di PTN tidak mengakomodasi mereka untuk memanfaatkan uang yang mereka dapatkan untuk dipergunakan langsung apabila mereka membutuhkan investasi atau pengembangan kapasitas. Hal ini disebabkan uang yang mereka terima harus disetorkan kepada pemerintah. Sementara itu, untuk penggunaannya mereka harus mengajukan ke Depdiknas lalu ke Depkeu. Jika disetujui, barulah uang tersebut cair.
BHMN, terlepas dari status badan hukumnya yang kontroversial, merupakan terobosan yang dibuat pemerintah dalam mengakomodasi kebutuhan akan otonomi ini. Dengan status BHMN, perguruan tinggi dapat memanfaatkan langsung uang yang didapatnya untuk kebutuhan pengembangan kapasitas. Tentunya dengan ketentuan bahwa pemanfaatan tersebut adalah untuk kepentingan pengembangan kapasitas semata dan bukan untuk tujuan lain (memperkaya pengelola, misalnya). BHMN juga dimintakan akuntabilitasnya setiap tahun atas dana yang mereka kelola. Bahkan jika terdapat kelebihan dana yang tidak dimanfaatkan (idle), dapat dikembalikan kepada pemerintah sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan demikian, otonomi yang diberikan bukanlah otonomi yang tidak bertanggung jawab.
Kontroversi mengenai BHMN bergaung dimana-mana, argumentasi pihak yang pro berlandaskan kepercayaan bahwa BHMN bisa lebih bebas mengatur dananya sendiri untuk perbaikan kualitas pendidikannya tanpa ada hambatan birokrasi melalui pemerintah, yang kontra datangd ari pihak masyarakat terutama orang tua calon mahasiswa yang keberatan dengan tingginya biaya pendidikan tinggi. Sebelumnya penulis telah memaparkan hasil studi Caseli dan Coleman (2001) bahwa pendidikan yang murah akan meningkatkan proporsi angkatan kerja terdidik yang siap bekerja di sektor non pertanian. Dengan adanya BHMN, pihak perguruan tinggi harus menarik uang kuliah dari mahasiswanya dan karena tidak ada subsidi dari pemerintah biasanya per individu harus membayar harga yang mahal. Hal ini merestriksi calon-calon mahasiswa dari keluarga tidak mampu untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas di PT BHMN, lebih jauh lagi hal ini bisa memperlambat proses transformasi struktural karena jumlah supply tenaga kerja berkualitas yang dibutuhkan oleh industri-industri serta sektor jasa yang berkembang pesat tidak dapat dipenuhi. Akses dan kualitas inilah yang seringkali dikonfrontasikan oleh pelaku pelayanan publik sebagai dua hal yang saling mengorbankan (trade-off). Jika ingin mengedepankan akses, maka kualitas pelayanan dikurangi, dan sebaliknya.
Pandangan mengkonfrontasikan kualitas dan akses ini yang menjadi kesalahan dalam penerapan paradigma new public management (NPM) yang kemudian menjadi senjata bagi para pengkritiknya. NPM yang mengedepankan kepuasan pengguna tentu lebih menekankan pada kualitas, yang seringkali berakibat pada tingginya harga (charge, tariff, fare, price) yang harus dibayar oleh pengguna sehingga menurunkan aksesibilitas mereka pada pelayanan tersebut.
Akan tetapi, sebagaimana sudah dinyatakan oleh Keynes dan Musgrave, pemerintah pada dasarnya dapat melakukan intervensi terhadap hal tersebut melalui instrumen-instrumen kebijakannya, baik fiskal maupun persuasi. Dalam penyediaan pelayanan publik juga telah dikenal istilah voucher atau pemberian bantuan langsung kepada pengguna pelayanan publik, yang dalam dunia pendidikan bentuknya bisa berupa beasiswa. Selain voucher, pemerintah juga bisa menetapkan kewajiban pengalokasian sejumlah persen penerimaan dari mahasiswa untuk diberlakukan subsidi silang bagi PT BHMN. Selain itu, BHMN tetap dapat melakukan pengembangan untuk institusinya sehingga kualitas perguruan tinggi pun meningkat.
Kesimpulan dan Penutup
Pendidikan merupakan determinan penting dalam proses akumulasi human capital untuk mempercepat laju transformasi struktural. Melihat kondisi Indonesia saat ini, dimana sektor jasa dan industri berkembang sangat pesat, dibutuhkan lulusan-lulusan perguruan tinggi yang berkualitas untuk memenuhi permintaan tersebut. Kualitas pendidikan tinggi tentu saja bisa dicapai dengan sistem penyelenggaraan pendidikan yang baik pula.
Kemudian pesatnya laju pertumbuhan disektor jasa dan industri menantang kita untuk bisa meningkatkan kualitas lulusan tentunya dengan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Terkait dengan PT BHMN, aksesibilitas dan kualitas menjadi hal yang dianggap trade off oleh masyarakat. jelas merupakan tanggung jawab pemerintah, tapi pelaksanaannya tidak selalu harus dilakukan oleh pemerintah. Dengan otonomi yang lebih baik dari sisi operasional, transparansi dan akuntabilitas ditunjang oleh beasiswa/ voucher dari pemerintah dan pihak korporasi bagi mahasiswa yang kurang mampu keberadaan PT BHMN ini bisa menjadi aset berharga yang bisa mengakselerasi proses transformasi struktural di negara kita.
Daftar Pustaka
Bank Dunia, 2007. Laporan Pembangunan Dunia 2007:Pembangunan dan Generasi Mendatang
Bhattacharya, A. Dan Pangestu, M. 1993. Indonesia: public policy and transformation. In Leipziger, D., ed., Lessons from East Asia. World Bank, Washington, DC, USA.
Caselli, F.,and W. J. Coleman II .2001: “ The U.S. Structural Transformation and Regional Convergence : A Reinterpretation,” Journal of Political Economy, 109(3), 584-616
Data Pokok APBN 2010.Publikasi Kementrian Keuangan Repunlik Indonesia
Chenery 1.986. ‘Growth and transformation’ in Chenery, Robinson and Syrquin, Industrialisation and Growth, OUP (Ch 2).
Fahmi, Muhammad. 2007. “Higher Education : The Chronicle, Recent Development and The New Legal Entity Universities.” Working Paper in Economics and Development Study No 200710
Guariglia, A. And Basu, P.2008. Does Low Education Delay Structural Transformation?. Southern Economic Journal 75(1) : 104-127
Hein Mallee, 2000, “Migration, Hukou and resistance in reform China”, in Elizabeth J. Perry and Mark Selden ed, Chinese Society, p. 83-101
Krugman, Paul & Maurice Obstfeld, 2009. International Economics: Theory and Policy. Chapter 4. Pearson International Edition: USA