Miangas-Ada temuan unik dari anak-anak Miangas. Setelah melakukan sosialisasi dan pendekatan untuk menyukseskan program English for Children dan juga mengajar di SD, SMP dan SMA, kelompok kami menyadari bahwa mayoritas anak Miangas kurang bisa mengaktualisasikan diri dan kurang percaya diri. Sebagian besar malu-malu dan menundukkan kepala ketika saya minta mereka maju ke depan kelas dan menceritakan cita-citanya. Nada pesimis dan kurang bersemangat begitu terasa, sama halnya ketika saya meminta mengerjakan soal di depan. Tidak ada satu pun anak yang berani mengerjakan soal. Dari sanalah saya merasa perlu ada suatu proyek untuk anak-anak Miangas untuk beraktualisasi, tidak malu tampil di depan umum.
Ghamal Satya Mohammad, teman saya dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) berinisiatif membentuk tim untuk melatih anak-anak Miangas dalam menampilkan teater. Saya langsung setuju dan bertanggung jawab untuk melatih kelompok paduan suara sebagai pengiring cerita dan backsound. Ima yang juga dari FIB menulis cerita dibantu Cantika dari fakultas psikologi. Sementara itu Eko Budi Wibowo, kepala suku rombongan K2N UI 2009 melatih pencak silat untuk para actor dan untuk tari-tarian akan dilatih oleh Lasma dan Allan yang juga tergabung dalam kelompok tari di UI. Ghamal sendiri sebagai produser sekaligus sutradara dibantu Cantika.
Audisi pun dimulai, sebagian besar masih belum paham teater dan masih terlihat malu-malu ketika diminta berakting. Lama-kelamaan, semangat dari mereka muncul dan terlihat bekerja keras menaklukan dialog-dialognya. Saya sangat mengagumin sang seniman, Ghamal tentu saja. Bukan hanya cara berpakaiannya saja yang unik ternyata ide-ide artistik yang keluar dari kepalanya juga sangat variatif. Dia menciptakan beberapa lagu untuk dinyanyikan oleh paduan suara yang saya latih. Tidak ada kesulitan dalam hal vocal, pembagian suara dan teknik karena mayoritas anak-anak Miangas sudah pandai bernyanyi.
Eko dengan aktor-aktor silatnya harus memperagakan beberapa jurus untuk mendukung adegan pertarungan antara tokoh-tokohnya. Luar biasa memang jawara silat tangerang yang satu ini, misinya bukan hanya untuk teater tapi juga mengajarkan silat kepada anak-anak disana. Latihan pun tidak sebatas adegan yang akan diperagakan tapi memang teknik silat dasar. Eko ingin memberikan “sesuatu” yang berguna kepada para remaja disana supaya mereka bisa mengenang pernah belajar silat. Latihan pun dilakukan di tempat-tempat yang bisa menenangkan pikiran sekaligus berkonsentrasi, setiap sehabis subuh mereka lari pagi dan lang sung berlatih di dermaga, pantai dan tempat-tempat lain.
Allan dan Lasma mengajarkan tarian kontemporer kepada pemuda-pemudi Miangas. Beberapa gerakan modern yang sulit diajarkan kepada mereka. Tentu saja, gerakan yang masih wajar dan tidak seronok. Saya melihat wajah-wajah anak-anak Miangas itu selalu ceria ketika berlenggak-lenggok mengikuti gerakan musik. Warga yang penasaran pun ikut menonton latihan-latihannya.
Acting itu sendiri yang saya lihat sedikit membuat anak-anak itu kesulitan. Latihan vocal awalnya membingungkan untuk mereka karena harus mengucapkan huruf-huruf vocal dengan suara perut. Setelah dijelaskan, mereka baru mengerti bahwa artikulasi dalam pengucapan dialog penting supaya penonton bisa menangkap pesan yang disampaikan. Sama halnya seperti saya ketika pertama kali belajar teater di SMA dulu, sulit sekali membuat acting terlihat tulus dan wajar. Hampir semua anak berdialog seperti membacakan puisi, obrolan yang seharusnya terlihat sewajarnya orang ngobrol terlihat seperti duel pantun/puisi. Ghamal dan Cantika sangat mengerti akan kondisi anak-anak disana yang mungkin belum pernah sekalipun menampilkan drama di depan umum. Dengan sabar mereka melatih anak-anak Miangas ini sehingga progress mulai terlihat mengesankan.
Malam pementasan pun tiba, hamper seluruh warga Miangas berkerumun di balai kecamatan untuk melihat kebolehan putra-putrinya berakting. Tim pelatih sibuk mendandani dan menghibur anak-anak yang tampak sekali nervousnya. Kami menekankan kepada mereka untuk menampilkan yang terbaik dan membuat orang-orang yang melihat bangga akan putra-putri Miangas. Karena berbagai keterbatasan, kostum dan ornament-ornamen panggung mayoritas dibuat sendiri dengan alat-alat yang sederhana. Kami melibatkan anak-anak SD untuk membantu membuat ornament-ornamen tersebut dengan harapan kreativitas mereka bisa terasah.
Pertunjukan pun dimulai, tim paduan suara, para pemain utama dan pendukung sangat serius menampilkan yang terbaik. Penonton pun terkesima dan kadang tertawa terpingkal-pingkal pada adegan-adegan tertentu. Setelah selesai dan semua pemain keluar pentas, tepuk tangan riuh bergema seantero balai kecamatan. Saya tersenyum lega sekaligus bangga dengan mereka. Saya langsung mendatangi tim pelatih dan menjabat tangan mereka. Keceriaan tampak di wajah kami semua, terlebih para pemain yang dipuji oleh keluarganya dan warga lain. Betapa kerja keras yang kadang-kadang terasa pahit akan berbuah manis pada akhirnya. Kami sangat yakin, anak-anak ini akan mengenang hari dimana mereka berhasil mengaktualisasikan diri mereka, beekspresi dan mengundang decak kagum phampir semua warga Miangas.
Dan ketika saya menulis tulisan ini, sambil membuka lembaran jurnal harian saya ketika di Miangas, di beberapa halaman terakhir yang sengaja saya meminta anak-anak mengisi biodata mereka mayoritas menulis pengalaman ketika latihan teater adalah yang paling berkesan dan tidak akan terlupakan untuk mereka. Saya terenyuh, betapa saya merindukkan anak-anak itu. Anak-anak perbatasan yang selalu bermimpi untuk bisa membangun Miangas suatu hari nanti.
PS : buat ghamal, tika, ima, allan, lasma dan kawan-kawan K2N UI 2009, ayo kita bikin pertunjukkan teater di TIM.
0 comments:
Post a Comment